SORONG – Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan (Dinas LHKP) Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu,ST,MSi mengatakan, investor yang hendak berinvestasi di bidang kehutanan dan ingin mengajukan permohonan untuk mendapatkan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang dulunya HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melalui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), harus mendapatkan Rekomendasi Gubernur Provinsi Papua Barat Daya. Rekomendasi Gubernur diberikan berdasarkan Pertimbangan Teknis (Pertek) dari instansi teknis dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya, serta Analisis Status dan Fungsi Kawasan Hutan (Yang dimohonkan PBPH,red) dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) yang berada di Manokwari.
Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) sejak Januari 2023 hingga Oktober ini, menerima beberapa permohonan PBPH. “Terkait adanya permohonan PBPH sejak Januari 2023 hingga Oktober ini, PBD yang terbentuk melalui UU Nomor 29 Tahun 2022, sehingga proses permohonan PBPH di daerah dalam hal ini Rekomendasi Gubernur, kami perlu mendapat arahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI maupun dari provinsi induk, terlebih lagi Pergub Nomor 18 Tahun 2023 tentang pelimpahan kewenangan kepada DPMPTSP untuk melakukan tandatangan atas nama gubernur, baru keluar pada bulan September lalu,” kata Kelly Kambu kepada Radar Sorong.
Mengingat rekomendasi gubernur sebagai salah satu syarat untuk pengurusan PBPH di Kementerian LHK belum juga dikeluarkan, akhirnya ada salah satu perusahaan yang memilih mengikuti mekanisme yang diatur dalam Permen-LH Nomor 7 dan Nomor 8 tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan, yang mengatur bahwa 10 hari sejak memasukan permohonan PBPH yang ditandai dengan adanya tanda bukti terima permohonan dari DPMPTSP, bila belum ada rekomendasi dari gubernur maka itu dianggap telah mendapat rekomendasi. “Aturannya seperti itu, dan ini satu hal yang baik karena mereka melanjutkan proses pengurusan ijin PBPH ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kementerian LHK kemudian mengkroscek dan menanyakan kenapa belum ada Rekomendasi Gubernur, dan kami menyampaikan bahwa proses kami itu sesuai dengan Permen LHK Nomor 7 dan Permen LHK Nomor 8,” kata Kelly Kambu kepada Radar Sorong.
Kelly mengatakan, sebelum memberikan pertimbangan teknis yang didasarkan pada telaahan PBPH, pihaknya juga harus melakukan overlay peta RTRW dan peta RTRW Papua Barat Daya masih mengacu pada peta RTRW Provinsi Papua Barat. Selain peta RTRW, juga peta PBPH dan sebagainya. “Namun yang terpenting dari semua persyaratan untuk mendapatkan Pertimbangan Teknis, kita ini merupakan daerah Otonomi Khusus sehingga kita harus mempertimbangkan kekhususan Papua Barat Daya juga meski tidak diatur dari Permen-LHK Nomor 7 dan 8. Karena itu, sebelum kami memberikan Pertimbangan Teknis sebagai salah satu dasar diterbitkannya Rekomendasi Gubernur, kami meminta kepada seluruh pemohon PBPH wajib hukumnya untuk mendapat persetujuan dari masyarakat adat pemilik hak ulayat yang punya wilayah hutan yang hendak dimohonkan PBPH, serta juga harus sepengetahuan pemerintah mulai dari tingkat bawah dalam hal ini Kepala Kampung, Kepala Distrik hingga Kepala Daerah Kabupaten-Kota,” tegas Kelly.
Menurutnya, persetujuan dari masyarakat adat pemilik hak ulayat itu bisa dalam bentuk Berita Acara atau Perjanjian Antar Masyarakat dengan Pemohon PBPH. “Atau dalam bentuk lain yang sifatnya mengikat, silahkan !. Yang penting itu harus ada, disertai dengan bukti-bukti pendukung seperti dokumentasi foto dan video,” tegasnya lagi.
Persetujuan masyarakat adat pemilik hak ulayat hutan yang dimohonkan PBPH menjadi salah satu dasar bagi pihaknya di instansi teknis untuk memberikan Pertimbangan Teknis guna mendapatkan Rekomendasi Gubernur. Mengapa kami wajibkan harus ada persetujuan masyarakat adat pemilik hak ulayat, karena kami tidak mau nantinya rekomendasi gubernur yang menjadi salah satu dasar diterbitkannya PBPH oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dikomplain oleh masyarakat,” tuturnya.
Persetujuan masyarakat adat pemilik ulayat juga diperlukan untuk memudahkan pemohon PBPH mengingat nantinya sebelum ijin PBPH diterbitkan, ada tahapan Kajian Amdal yang didalamnya termasuk konsultasi public dengan masyarakat. “Walaupun provinsi baru, kami punya pengalaman, ada salah satu perusahaan yang kami tidak perlu menyebutkan namanya, proses perijinan PBPH-nya sudah mulai saat masih Provinsi Papua Barat. Proses dan semua tahapan sudah hampir selesai, tinggal satu tahapan akhir untuk mendapatkan PBPH, yakni pengurusan dokumen Amdal yang didalamnya ada tahapan konsultasi public. Pada saat konsultasi public itu masyarakat menolak. Proses panjang telah dilalui yang dimulai saat masih Papua Barat, akhirnya kandas di tahapan akhir dokumen Amdal karena masyarakat menolak, sehingga tentu saja hal ini merugikan karena waktu yang terbuang, biaya dan sebagainya. Karena itu, kami menambah satu prasyarat permohonan PBPH harus dan wajib mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat pemilik hak ulayat,” tukas Kelly Kambu.
Ditambahkannya, satu catatan penting terkait PBPH, bila dulu saat konsepnya masih HPH (Hak Pengusahaan Hutan) itu tidak membuka ruang bagi masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan yang ada ijin HPH-nya, misalnya memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, atau bermitra dengan pemegang ijin HPH dan sebagainya, namun setelah adanya UU Cipta Kerja, banyak sekali manfaatnya termasuk dalam hal PBPH, pemerintah sangat membuka ruang dan memberikan manfaat yang sangat luar biasa kepada masyarakat. “Masyarakat bisa memanfaatkan potensi hasil hutan bukan kayu dari areal PBPH, atau bisa juga bermitra dan bersinergi dengan pelaku usaha pemegang ijin PBPH, dan pemegang PBPH bisa menggandeng masyarakat adat sebagai anak angkat dan memberdayakan masyarakat,” pungkas Kelly. (ian)