Kelly : Pohon Yang Bisa Ditebang Hanya yang Ditanam atau yang Punya Izin PBPH
SORONG – Untuk mencegah terjadinya illegal logging di wilayah Papua Barat Daya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu,ST,MSi, mengatakan perlu adanya kolaborasi semua pihak. Dikatakannya, sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi, pohon yang bisa diambil itu ada dua klasifikasi, yakni pohon yang ditanam dan yang punya Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). “Di tanah Papua, pohon yang ditanam itu mungkin tidak ada, beda dengan di daerah Jawa misalnya jati atau sengon itu ditanam, beberapa tahun ke depan bisa ditebang dan dibawa ke industry kayu untuk diolah. Di Papua Barat Daya, yang bisa diambil hanya yang punya PBPH,” kata Kelly Kambu kepada Radar Sorong, Kamis (23/1).
Di wilayah Papua Barat Daya terdapat 4 perusahaan yang memiliki izin PBPH. “Ada empat perusahaan pemegang izin PBPH diantaranya Mancaraya yang beroperasi di wilayah Kabupaten Sorong, kemudian ada juga di Maybrat, Tambrauw dan Sorong Selatan. Dari empat ini, di Tambrauw itu tidak aktif. Di Kabupaten Sorong dulu ada Intimpura, tapi masa berlakunya sudah selesai,” terangnya. Dalam pengangkutan kayu, sesuai Permen LHP Nomor 8 Tahun 2021 pasal 259, setiap pengangkutan hasil hutan kayu harus dilengkapi dokumen angkutan berupa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu (SKSHHK), Nota Angkutan atau Nota Perusahaan.
Dikatakannya, pihaknya kerap mendapatkan laporan melalui telepon maupun WA, bahkan dituding seolah-olah Dinas LHKP ‘tutup mata’ dengan peredaran kayu diduga ilegal. “Kami di Dinas LHKP tidak tutup mata atau bermain mata terkait dengan hal-hal ini. Kami ada tim teknis yang turun untuk menginventarisir seluruh industry kayu yang ada, dan kami menegaskan kepada industry kayu boleh mengambil kayu yang memiliki ijin, tidak lagi mengambil kayu, menerima atau membeli kayu yang tidak berizin. Jika kedapatan membeli atau menerima kayu yang tak berizin, maka sanksinya akan kami berikan kepada pemegang izin industry kayu,” tegasnya.

Ditegaskannya, perlu adanya kolaborasi dari semua pihak, baik itu masyarakat adat karena kayu yang beredar itu pasti tumbuh di lahan masyarakat adat, pasti ada komitmen antara yang menebang dengan yang punya hak ulayat sehingga bisa melakukan penebangan. “Jadi sebenarnya bukan kayu-kayu illegal, tetapi orang-orang ilegal yang karena kepentingan ekonomi, menggunakan segala cara agar bisa mengambil kayu-kayu dari masyarakat,” tandasnya.
Sehingga lanjut Kelly, kalau mengandalkan Dinas LHKP saja untuk mencegah, tentunya tidak akan efektif karena pihaknya terbentur keterbatasan anggaran, SDM dan fasilitas yang terbatas. “Kami rencanakan rapat bersama dengan seluruh stakeholder terkait, misalnya dari masyarakat adat, kepala kampung, kepala distrik, mungkin juga TNI/Polri untuk duduk sama-sama membuat kesepakatan bersama terkait bagaimana mengatasi orang-orang ilegal yang memanfaatkan kesempatan dengan berbagai cara untuk menebang pohon di kawasan hutan milik masyarakat adat,” tegasnya.
Kelly menegaskan, pencegahan illegal logging harus menjadi konsen bersama, termasuk juga dari OPD terkait lainnya, misalnya dengan memberdayakan masyarakat adat pemilik hak ulayat yang punya hutan agar ada penghasilan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya sehingga tidak tergiur dengan harga yang ditawarkan orang-orang illegal untuk menebang pohon di hutan adatnya. “Pemberdayaan ini penting, agar masyarakat adat pemilik ulayat hutan tidak lagi menggantungkan hidupnya untuk kebutuhan ekonominya dari menebang pohon, tetapi bisa mendapatkan penghasilan dari hasil hutan bukan kayu,” tuturnya sembari menambahkan hutan yang lestari sangat besar peranannya untuk mencegah perubahan iklim, menyerap karbon sehingga bisa mencegah pemanasan global. “Untuk itu kita berharap kolaborasi bersama untuk menjaga hutan tetap lestari,” imbuhnya.
Terkait pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat adat yang bersumber dari hutan adat, Kelly mengatakan hingga saat ini belum ada peraturannya. Pihaknya sudah berkomunikasi dengan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, dan disampaikan pemanfaatan kayu yang tumbuh di hutan adat itu ada mekanismenya. “Teman-teman di provinsi induk, Papua Barat, sudah ada juknisnya, dan contoh baik ini kita akan belajar ke provinsi induk, untuk nantinya dibuatkan peraturan dan juknisnya sehingga bisa mengakomodir pohon yang tumbuh di tanah hak ulayat untuk bisa dimanfaatkan masyarakat, sehingga kalau masyarakat adat ambil kayu bisa mendapatkan SIPUHH (Sistim Informasi Penatausahaan Hasil Hutan Kayu), karena kayu-kayu yang tidak diproses SIPUHH seharusnya tidak bisa diperdagangkan keluar daerah,” pungkasnya. (ian)