AIMAS – Sidang adat terbuka yang dilakukan Dewan Adat Malamoi memutuskan dukungan penuh kebijakan Bupati Sorong, Dr. Johny Kamuru,SH,MSi atas pencabutan izin tiga perusahaan kelapa sawit yang dinilai tidak komitmen dengan aturan yang ada. Ketiga perusahaan tersebut yakni PT Sorong Agro Sawitindo, PT Papua Lestari Abadi, dan PT Inti Kebun Lestari.
Dalam sidang tersebut, Dewan Adat Malamoi telah berupaya menghadirkan ketiga pihak perusahaan namun tidak satupun yang hadir. Keputusan dalam sidang tersebut merupakan kesepakatan seluruh masyarakat adat dari 7 sub suku besar yang mendiami tanah Malamoi.
Pimpinan Sidang Adat Terbuka Suku Moi, Alfons Samolo mengatakan, pihaknya tetap mendukung keputusan Bupati Sorong untuk mencabut izin operasi dari ketiga perusahaan sawit tersebut. Ia menegaskan, apabila gugatan di PTUN Jayapura dimenangkan oleh pihak perusahaan, maka masyarakat adat tetap menolak itu.
“Artinya putusan di PTUN Jayapura harus dimenangkan oleh Bupati, apapun yang terjadi. Kalau ternyata pemenangnya adalah pihak perusahaan, kami selaku Dewan Adat tidak akan mengakui itu. Menurut kami, masyarakat adat sudah berbuat untuk masyarakat, untuk pemerintah. Kami izinkan ada transmigrasi, kami perbolehkan perusahaan sawit masuk, tapi mereka juga harus mengakui dan menghargai keberadaan kami,” tegas Alfons.
Sidang adat yang digelar dua hari ini, dipimpin langsung oleh lima orang Dewan Adat, yakni Alfons Samolo, Anis Bisi, Yahya Bisi, Origenes Ulim, dan Yustinus Magablo. Sidang adat ini merupakan sidang tertinggi dalam tatanan kehidupan masyarakat adat Suku Moi untuk memutuskan apa yang menjadi target utama, yakni menolak perluasan lahan perkebunan sawit serta mendukung penuh kebijakan Bupati Sorong terkait pencabutan izin perusahaan sawit di tanah Malamoi.
Bupati Sorong, Dr. Johny Kamuru,SH,M.Si mengatakan, terlaksananya sidang adat ini merupakan bentuk meningkatnya kesadaran masyarakat adat untuk mempertahankan apa yang menjadi hak mereka. Masyarakat adat kini menilai bahwa hutan adalah segalanya untuk mereka. “Hutan adalah bagian dari masyarakat adat. Mereka sekarang merasa lebih baik hidup susah tetapi hutan tetap menjadi milik mereka. Masyarakat adat jaga hutan, jaga alam, maka hutan dan alam akan jaga mereka,” ujar Bupati Sorong. Menurutnya, dukungan riil dari masyarakat adat ini dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh majelis hakim, sehingga pemerintah Kabupaten Sorong dapat memenangkan gugatan tersebut.
Penuturan yang sama juga diungkapkan Ketua Pansus Penyelesaian Kasus Kelapa Sawit MRP, Matius Komigi. Dirinya mengungkapkan, hasil putusan peradilan adat ini nantinya akan menjadi salah satu bukti di PTUN. Oleh karenanya, MRP sebagai representasi kultural masyarakat adat Papua juga akan ikut mendistribusikan hasil putusan peradilan adat Malamoi kepada seluruh pemegang kewenangan di Provinsi dan di pusat. “Efektifitas hasil putusan sidang adat ini bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum. Itu tertuang dalam UU Otsus dan diakui secara sah oleh negara. Maka MRP akan mengawal putusan ini. Kami berharap seluruh pemegang kewenangan di negeri ini dapat melihat bahwa ini adalah suara masyarakat yang sama sekali tidak mendapatkan manfaat dari hadirnya perusahaan sawit,” kata Matius Komigi.
Bupati Sorong menambahkan, atas kejadian ini maka di waktu yang akan datang tentu Pemerintah akan semakin selektif memilah perusahaan sawit yang akan berinvestasi di Kabupaten Sorong. Apalagi sekarang masyarakat juga sudah semakin sadar untuk mempertahankan haknya. “Saya juga berterima kasih kepada seluruh pihak ternasuk LSM yang bergerak di bidang lingkungan, karena telah membantu masyarakat adat dalam melakukan pemetaan hak adat setiap sub suku dan marga semakin jelas,” ujar Bupati.
Sementara itu, upaya pemulihan lahan yang sudah rusak akibat aktivitas perusahaan sawit nanti akan dikembalikan kepada tokoh adat. Sambil dikoordinasikan dengan BPN secara mendetail. Terkait bagaimana masyarakat adat bisa mendapatkan haknya lagi. Apakah dengan menerbitkan sertifikat atau HPL, dan sebagainya. (ayu)