Oleh : Yacob Nauly *)
HAMPIR sulit dipastikan mana berita bermoral dan juga sebaliknya kabar yang tak disukai banyak orang. Karena dinilai hoaks. Atau bertentangan dengan ketentuan umum (hukum). Kalau kita simak dengan seksama, moral adalah baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan. Sikap, kewajiban, dan sebagainya.
Nah artinya, moral adalah standar perilaku yang memungkinkan setiap orang untuk dapat hidup secara kooperatif. Dalam suatu kelompok. Moral dapat mengacu pada sanksi-sanksi masyarakat terkait perilaku yang benar dan dapat diterima. Lah, media massa atau pers berkaitan serta tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya idealisme. Dan moral yang terpuji.
Para jurnalis kita di zaman dahulu dengan moralitas terpuji mereka. Menulis melawan penjajahan belanda di tanah air. Artinya moral Pers kita ketika itu sangat terpuji dalam bingkai perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan Negara Republik Indonesia (NKRI). Di zaman revolusi fisik, lebih terasa lagi betapa pentingnya peranan moral dan eksistensi pers.
Tujuan ketika itu adalah menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Belanda. Lalu mengobarkan nyala revolusi. Dengan mengobori semangat perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan. Menempa persatuan nasional. Untuk keabadian kemerdekaan bangsa. Dan penegakan kedaulatan rakyat.
Lalu sekitar 28 Februari hingga Maret 1946, komisi bertemu lagi di Surakarta menghadiri sidang Komite Nasional Indonesia Pusat. Komisi bersidang dan membahas masalah pers yang dihadapi. Yang pada prinsipnya sepakat membentuk sebuah wadah untuk mengoordinasikan persatuan pengusaha surat kabar. Waktu itu disebut ‘Serikat Perusahaan Suratkabar’.
26 tahun kemudian, menyusul lahir Serikat Grafika Pers (SGP), antara lain karena pengalaman pers nasional menghadapi kesulitan di bidang percetakan pada pertengahan tahun 1960-an. Pada Januari 1968, sebuah nota permohonan yang mendapat dukungan SPS dan PWI dilayangkan kepada Presiden Soeharto waktu itu. Agar pemerintah turut membantu memperbaiki keadaan pers nasional. Terutama dalam mengatasi pengadaan peralatan cetak dan bahan baku pers.
Sejauh ini, para wartawan dari generasi 1945 yang masih aktif tetap menjalankan profesinya dengan semangat. Mengutamakan perjuangan bangsa, kendati rupa-rupa kendala menghadang kiprahnya. Mengingat sejarah pers nasional sebagai pers perjuangan. Dan pers pembangunan. Maka tepatlah keputusan Presiden Soeharto tanggal 23 Januari 1985 untuk menetapkan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional (HPN).
Kronologis
Pada 8 Juni 1946 di Yogyakarta, berkumpullah para tokoh surat kabar, tokoh-tokoh pers nasional, untuk mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Kepentingan untuk mendirikan SPS pada waktu itu bertolak dari pemikiran bahwa barisan penerbit pers nasional perlu segera ditata dan dikelola, dalam segi idiil dan komersialnya. Mengingat saat itu pers penjajah dan pers asing masih hidup dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya.
Sebenarnya SPS telah lahir jauh sebelum tanggal 6 Juni 1946, yaitu tepatnya empat bulan sebelumnya bersamaan dengan lahirnya PWI di Surakarta pada tanggal 9 Februari 1946. Karena peristiwa itulah, orang mengibaratkan kelahiran PWI dan SPS sebagai “kembar siam”. Di balai pertemuan “Sono Suko” di Surakarta pada tanggal 9-10 Februari itu. Wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul berkomunika sesama mereka.
Pertemuan tersebut di antaranya menyetujui pembentukan organisasi wartawan Indonesia. Dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Yang diketuai Mr. Sumanang Surjowinoto. Sekretarisnya Sudarjo Tjokrosisworo. Sumanang dan Sudarjo bersama 8 anggota lainnya. Kemudian bertugas merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu dan usaha mengoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional di mana ratusan jumlah penerbitan harian dan majalah yang terbit hanya memiliki satu organisasi Pers. PWI- namanya.
Hari Pers 2022
Kini sesuai perkembangan teknologi. Pers Indonesia maju pesat. Pers Indonesia dituntut menjadi media yang mandiri dan mencerdaskan dengan cara tidak menjadi media click bait. Dengan alasan mengikuti arus jurnalistik.
Hal ini tampak mengkawatirkan. Setelah makin berjamurnya media yang mengandalkan cara kerja tersebut. PWI dipastikan terus mendorong pers nasional untuk mengendalikan arus jurnalistik. Lalu memperbaiki kualitas pemberitaan, demi menjaga independensinya. Cipta jurnalistik.
Media harus memperbaiki kualitas pemberitaan. Dan sedapat mungkin menghindari tren pemberitaan yang bias. Seperti provokatif, bombastis, atau tidak taat azas jurnalistik. Sebagai dasar dari kemandirian media. Inilah tantangan bagi kita untuk saat ini. Apakah media-media solider terhadap media kecil.
Apakah media-media kecil juga bisa menempatkan diri secara proporsional. Terakhir melalui Konvensi Nasional yang mengangkat tema. Membangun Kedaulatan Nasional di Tengah Gelombang Digitalisasi Global ini. Diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi atau deklarasi yang akan dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo untuk ditindaklanjuti.
Semoga hasil pers nasional di Kendari ini akan menghasilkan manfaat yang besar bagi Indonesia dan untuk pers negeri ini.
Selamat Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2022.
*) Penulis, Pemegang Kartu Utama Dewan Pers RI