Laporan Antara RTRW Provinsi Papua Barat Daya, Hanya 2 Persen Kawasan Hutan yang Diusulkan Untuk Dilepaskan Statusnya Guna Kepentingan Pembangunan
SORONG – Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya (PBD) saat ini sedang melakukan peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2025-2044. Berdasarkan Laporan Antara penyusunan RTRW PBD, dari luas total kawasan hutan PBD 3.911.283,50 hektar, yang diusulkan untuk dilepaskan statusnya sebagai kawasan hutan yakni seluas 72.553,63 hektar, atau kurang lebih 2 persen dari total luas kawasan hutan, demi untuk kepentingan pembangunan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu,ST,MSi menilai, dari data sementara berdasarkan Laporan Antara penyusunan RTRW PBD ini terlihat sangat kecil sekali kawasan hutan yang direcanakan untuk dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan. Padahal RTRW masa berlakunya selama 20 tahun, meski memang dalam 5 tahun sekali bisa dilakukan evaluasi.
Setelah mengikuti ekspos Laporan Antara penyusunan RTRW Provinsi Papua Barat Daya tahun 2025-2044, kebutuhan untuk pelepasan kawasan hutan untuk satu provinsi Papua Barat Daya yakni 72.553,63 hektar, kurang lebih 2 persen dari total luas kawasan hutan di PBD. Dari data ini, kami melihat bahwa sangat minim kebutuhan ruang yang diusulkan oleh pemerintah kabupaten/kota terkait dengan rencana penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan,” kata Kelly Kambu kepada Radar Sorong, Sabtu (17/8).

Padahal lanjut Kelly, peninjauan kembali RTRW PBD merupakan kesempatan bagus bagi pemerintah daerah kabupaten/kota maupun pelaku usaha yang hendak menanamkan investasinya di PBD, untuk mengajukan usulan pelepasan status kawasan hutan yang akan digunakan untuk pembangunan. Memang, pelepasan status kawasan hutan bukan hanya melalui mekanisme RTRW, bisa juga secara parsial dengan mengusulkan langsung ke pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan, namun tentunya membutuhkan proses, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Jangan sampai RTRW sudah dislot atau sudah disahkan, baru muncul stigma negative bahwa pihaknya selaku instansi teknis yang membidangi kehutanan dicap sebagai penghambat pembangunan karena tidak bisa melakukan pembangunan atau investasi di dalam kawasan hutan, padahal ruang untuk mengusulkan pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan terbuka lebar saat penyusunan RTRW.
“Mumpung ada peninjauan kembali RTRW PBD, maka kami instansi teknis mengharapkan partisipasi aktif dari pemerintah daerah kabupaten/kota untuk memperhatikan kembali rencana tata ruang wilayahnya. Apabila ada kebutuhan ruang untuk pembangunan di RTRW Kabupaten/Kota yang belum diakomodir, atau telah diakomodir tapi perlu penambahan, maka solusinya bisa diakomodir dalam RTRW Provinsi,” ucapnya.
Ditekannya, yang punya wilayah adalah kabupaten/kota, sekiranya ada kebutuhan ruang kawasan hutan untuk pembangunan jangka menengah lima tahun ke depan, maka momentum peninjauan kembali RTRW Provinsi Papua Barat Daya harus dimanfaatkan. “Kami mengikuti selama tiga hari, menurut kami kurang mendapat perhatian dari OPD-OPD teknis yang berada di kabupaten/kota. Karena itu, kami berharap kalau bisa kepala dinas OPD teknis lebih proaktif untuk menjabarkan visi misi kepala daerah yang diakomodir dalam usulan pembangunan. Jangan sampai proses peninjauan kembali RTRW provinsi ini sudah selesai dan dislot, kemudian kita mengeluh atau saling menyalahkan. Karena itu, peninjauan kembali RTRW Provinsi Papua Barat Daya ini hendaknya dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk membangun koordinasi, komunikasi, terkait ruang-ruang mana, atau kawasan hutan yang mana yang mau dimanfaatkan untuk pembangunan di daerah masing-masing, untuk kemudian diusulkan masuk dalam RTRW Provinsi,” tandasnya.
Dijelaskannya, apabila ruang untuk kebutuhan pembangunan itu berada di dalam kawasan hutan, maka bisa diproses melalui mekanisme RTRW, karena RTRW ini kebutuhan daerah sehingga mudah diperjuangkan di pusat, dan biayanya juga tidak sebanding apabila diperjuangkan secara parsial langsung ke pemerintah pusat. “Jangan sampai RTRW sudah terkunci baru menyalahkan kami di kehutanan sebagai penghambat pembangunan karena menjaga kawasan hutan, padahal kebutuhan untuk memanfaatkan ruang kawasan hutan untuk pembangunan itu bisa diatur melalui mekanisme RTRW yang lebih mudah, dan juga bisa secara parsial langsung ke Kementerian Kehutanan tetapi tentunya butuh waktu, biaya yang tidak sedikit, dan belum tentu juga disetujui,” tukasnya.
Dikatakannya, luas kawasan hutan yang diusulkan untuk dilepaskan statusnya yang hanya 72.553,63 hektar, untuk setingkat provinsi luasannya sangat kecil. Artinya, rencana pembangunan lima tahun ke depan lebih banyak menggunakan ruang yang bukan masuk dalam kawasan hutan. Diantara 72 ribu hektar tersebut, bidang pertanian lebih sangat kecil, hanya 300 hektar. Dengan demikian, berdasarkan Laporan Antara RTRW PBD, untuk pengembangan pertanian lima tahun ke depan di wilayah Papua Barat Daya hanya 300 hektar. “Kami berharap rekan-rekan di kabupaten/kota lebih proaktif lagi. Misalnya teman-teman di Tambrauw, karena katanya ada permasalahan mau bangun jalan, rumah sakit, puskesmas, sekolah terbentur karena lokasinya berada dalam kawasan hutan, mau bangun sekolah rakyat pun ada dalam kawasan hutan. Hal-hal inilah yang harusnya proaktif dari pemerintah daerah untuk mengusulkannya ke provinsi untuk diakomodir dalam RTRW Provinsi, dalam artian kawasan hutan yang akan digunakan untuk pembangunan dilepaskan statusnya sebagai kawasan hutan melalui mekanisme RTRW, sehingga proses pembangunan nantinya tidak terbentur dengan status kawasan hutan. Kami dari dinas teknis sangat terbuka dan siap mengawal, sepanjang itu merupakan kebutuhan daerah, sehingga ke depan kami tidak dianggap sebagai penghambat pembangunan,” pungkasnya. (ian)












