AIMAS – Harga pupuk kimia yang tinggi membuat salah seorang petani jagung, Nurhadi, kini beralih meggunakan pupuk kompos dari kotoran sapi. Untuk mempermudah pemupukan pada tanaman jagungnya, Nurhadi sengaja menempatkan kandang sapi di tengah area perkebunan jagung.
Menurutnya, selama ini memang ada pupuk subsidi yang tersedia di pasaran. Namun ketersediaan stoknya tidak banyak. Sehingga banyak petani yang terpaksa membeli pupuk non subsidi dengan harga selangit. Nyatanya harga pupuk non subsidi yang mahal pun tak menjamin stoknya selalu tersedia.
“Pupuk subsidi hanya jenis tertentu, salah satunya urea. Tapi kalau mau hasil panen bagus tentu petani juga mau pupuk yang bagus, jadi kadang saya pakai pupuk mutiara. Pupuk ya bagus, tapi harganya ya bagus juga. Itu pun kadang kosong, paling sebulan hanya dapat 1 karung, padahal saya butuh sekitar 2-3 karung,” keluh Nurhadi saat ditemui Radar Sorong, Rabu (3/11).
Hal itulah yang membuat Nurhadi inisiatif untuk memindahkan sapi beserta kandangnya di tengah kebun jagung. Tujuannya agar kotoran sapi tersebut dapat dijadikan kompos untuk memupuk jagung-jagungnya.
“Kalau saya tanam 0,75 hektar pupuknya hanya 1 karung sebenarnya kurang juga. Tapi mau bagaimana lagi, kondisinya begitu. Makanya ya kita juga usaha dibantu pakai kompos. Kandang sapinya sengaja saya taruh sini biar lebih gampang juga,” ujarnya.
Dibeberkan Nurhadi, harga pupuk mutiara ukuran 50kg saat ini bisa mencapai Rp 600.000,-. Sementara untuk pupuk ponska yang juga sering ia gunakan, harganya berkisar antara 200 ribuan untuk ukuran 25 kg.
“Mahal memang mbak, tapi namanya kita butuh, kalau barang ya ada ya tetap kita beli. Kalau sudah stok kosong ya tidak ada solusi lagi selain kompos. Ini saja saya sudah tidak punya pupuk sama sekali, padahal baru mulai tanam untuk pembibitan. Untung ada pupuk kompos,” sebutnya. Menurutnya, menanam jagung manis sangat cocok disandingkan dengan beternak sapi. Sebab, pohon jangung manis setelah masa panen bisa dijadikan sebagai pakai sapi. Sedangkan kotoran sapinya bisa dikeringkan untuk dimanfaatkan jadi pupuk kompos.
“Jadi saling menguntungkan sebenarnya, habis jagungnya dipanen, pohon dicabut bisa buat makan sapi. Saat sapi sudah menghasilkan kotoran, tinggal nunggu kering sudah bisa jadi pupuk. Sementara kalau jagung hibrida kan tidak bisa begitu siklusnya. Jagung hibrida harus kering di pohon baru bisa panen. Kalau pohonnya sudah ikut kering, sapi sudah tidak doyan lagi,” tutup Nurhadi. (ayu)