SORONG – Dalam rangka peningkatan tata kelola pemanfaatan hutan, good forest governance dan mitigasi resiko terhadap pelaksanaan pemanfaatan hutan, saat ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Kementerian Kehutanan sedang melakukan penataan perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) melalui konsolidasi spasial, penyehatan ekosistim bisnis dan perbaikan tata kelola sebagai upaya peningkatan pelayanan public. Melalui edaran Nomor S-132/PHL/SPHL/PHL-36/B/6/2025 tertanggal 23 Juni 2025 tentang Tata Kelola dan Evaluasi Pemanfaatan Hutan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan sedang melakukan perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi, serta penyiapan pedoman/juknis tata kelola pemanfaatan hutan.
Terkait hal ini, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan (LHKP) Provinsi Papua Barat Daya (PBD), Julian Kelly Kambu,ST,MSi mengharapkan agar Menteri Kehutanan Republik Indonesia segera menerbitkan regulasi yang khusus mengatur tentang pemanfaaatan kayu yang tumbuh alami di tanah adat. Hal ini sangat penting, mengingat tanah Papua ini bukan tanah kosong, khususnya di Papua Barat Daya ini, hutan tumbuh di atas tanah hak ulayat masyarakat adat yang merupakan sumber kehidupan dan merupakan bagian integral dari identitas budaya dan spiritualitas masyarakat adat. “Kami melihat kondisi riil hari ini, ada mekanisme yang belum diatur dengan baik. Untuk itu kami perlu mengusulkan kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia untuk dapat menerbitkan regulasi untuk menjamin kepastian hukum terkait dengan kayu/pohon yang tumbuh alami di tanah adat. Menurut kami, selama ini belum ada aturan yang mengatur tentang hal ini,” kata Kelly Kambu kepada Radar Sorong, Rabu (10/9).

Belum adanya regulasi yang pasti terkait hal ini mengakibatkan aktifitas pemanfaatan hasil hutan kayu yang tumbuh alami di tanah adat selama ini tidak memberikan kontribusi kepada penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Di satu sisi masyarakat adat berhak untuk memanfaatkan kayu yang tumbuh alami di tanah adatnya, sementara di sisi lain ada pembeli yang membutuhkan kayu khususnya kayu merbau. Transaksi jual beli kayu yang dihasilkan dari tanah adat ini selama ini tidak memberikan pemasukan bagi negara. “Jika ada regulasi terkait hal ini, tentunya kayu-kayu yang tumbuh alami di tanah adat bisa di daftarkan di SIPUHH (Sistim Informasi Penatausahan Hasil Hutan) sehingga pada gilirannya bisa menjadi salah satu sumber pemasukan bagi negara,” tutur Kelly.
Kayu yang diambil dari tanah adat, menurut masyarakat tidak ilegal karena mereka berhak mengambilnya karena itu tumbuh alami di tanah adatnya. Hal ini tentunya sangat erat kaitannya dengan kebutuhan ekonomi masyarakat, untuk pendidik, kesehatan dan hidup sehari-hari, karena kayu ini merupakan salah satu sumber penghasilan masyarakat. “Karena itu, kami menilai untuk pohon yang tumbuh alami di tanah adat, perlu ada kepastian hukum melalui regulasi yang baik sehingga kita bisa mengelola, tidak liar, sehingga masyarakat bisa mengambil untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, di sisi lain bisa menjadi sumber pemasukan negara,” jelas Kelly Kambu.
Pihaknya lanjut Kelly Kambu, selama ini kesulitan melakukan pengawasan terkait hal ini karena bersinggungan langsung dengan masyarakat adat. Bila dipaksakan, sangat berpotensi memunculkan konflik karena masyarakat adat pemilik ulayat pasti mempertahankan apa yang benar dalam versi adat. “Kami punya pengalaman, masyarakat tanyakan ilegalnya dimana, kayu milik kami karena tumbuh di tanah adat kami, dan kami berhak untuk memanfaatkannya, kamu kasih makan kami kah. Masyarakat menebang pohon yang tumbuh di tanah adat karena factor ekonomi, untuk kebutuhan pendidikan, kesehatan dan rumah tangga. Kalau kita langsung ke masyarakat, pasti timbul resistensi yang bisa memicu konflik, karena kami pernah mengalami hal itu. Masyarakat adat tidak tahu menahu terkait dengan kata ilegal yang kami sampaikan, yang masyarakat tahu mereka menebang pohon itu di tanah adatnya sehingga tidak perlu ada ijin karena itu punya mereka sendiri,” jelasnya lagi.
Ditambahkannya, memang pemanfaatan kayu yang tumbuh alami bisa dilakukan melalui mekanisme Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT), namun mekanisme ini untuk di tanah Papua terkendala karena salah satu persyaratannya kepemilikan atas tanah harus dibuktikan dengan sertifikat tanah, padahal sebagian besar tanah hak ulayat masyarakat tidak ada sertifikat, namun masyarakat adat tahu pasti batas wilayah adatnya. “Memang ada mekanisme melalui Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT), tapi untuk di tanah Papua ini kurang kuat karena harus dibuktikan dengan sertifikat tanah, sementara tanah adat di tanah Papua ini sebagian besar belum ada sertifikatnya, ini dilemma. Sehingga menurut kami solusinya dan kami berharap kepada Bapak Menteri Kehutanan Republik Indonesia untuk segera membuat regulasi terkait dengan pohon yang tumbuh alami di tanah adat. Bila sudah ada regulasi terkait hal ini, harus ditindaklanjuti dengan sosialisasi ke bawah sehingga tidak terjadi multitafsir. Memang kita disini ada kebijakan otonomi khusus Papua, tetapi terkait hal ini belum diatur secara detail,” imbuhnya. (ian)