WAYAG — Aksi pemalangan Pulau Wayag, ikon wisata dunia di Raja Ampat, oleh masyarakat adat suku Kawe, menyampaikan pesan keras kepada pemerintah pusat.
Mereka menuntut agar Pemerintah harus bertanggung jawab atas rencana pencabutan izin tambang nikel yang mengancam masa depan ekonomi masyarakat lokal. Sejak Senin (9/6) sore, puluhan warga adat dari 4 marga pemilik hak ulayat Ayelo, Daat, Ayei, dan Arempele resmi menutup seluruh aktivitas wisata di kawasan Pulau Wayag.
Langkah ini diambil sebagai bentuk protes atas rencana pencabutan izin operasi PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), salah satu perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Pulau Kawe berdasarkan kesepakatan sah dengan masyarakat adat.
“Kami atas nama empat marga, Ayelo, Daat, Ayei dan Arempele, menutup seluruh aktivitas pariwisata di Kepulauan Wayag. Kami tidak mengganggu wisata, tapi kenapa atas nama pariwisata justru mau mengganggu perusahaan kami yang telah kami perjuangkan demi masa depan anak cucu kami,” kata Pemilik Hak Ulayat Pulau Wayag, Luther Ayelo.
Menurutnya, Masyarakat Suku Kawe menilai kehadiran tambang telah membuka peluang ekonomi nyata bagi warga adat, berbanding terbalik dengan sektor pariwisata konservasi yang selama ini dianggap tidak memberi kontribusi signifikan terhadap kesejahteraan lokal.
“Kami tidak mencuri, kami kerja di atas tanah kami sendiri. Kalau perusahaan kami ditutup, maka Pulau Wayag juga kami tutup,” kata Luther.
Dalam tuntutannya, warga mendesak pemerintah pusat untuk membatalkan rencana pencabutan izin tambang, serta mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi bagi ratusan pekerja lokal yang menggantungkan hidup dari operasional tambang tersebut.
Selain itu, masyarakat mengecam beredarnya konten editan di media sosial yang dianggap menyudutkan aksi mereka. Mereka menegaskan bahwa perjuangan ini bukan soal menolak konservasi, tetapi mempertahankan hak kelola atas tanah adat dan akses terhadap sumber penghidupan yang sah.(*/zia)