MENEMPUH ribuan kilometer dengan mobil pribadinya, Sarman El Hakim membawa pesan tentang pentingnya menjaga Pertamina, merayakan kemerdekaan Indonesia, dan mengembalikan marwah sepak bola nasional. Semua dilakukan bukan karena diminta, tapi karena Sarman cinta pada negeri, pada energi, dan pada sejarah yang mulai dilupakan.
Oleh: Norma Fauzia Muhammad

DI USIA 59 tahun, ketika kebanyakan orang mulai memperlambat langkah hidup, Sarman El Hakim justru mengendarai kendaraannya menyusuri negeri. Dia bukan pejabat, bukan pula tokoh ternama. Dia hanya warga biasa, namun cintanya pada negeri, pada energi, dan pada kebenaran, membuatnya luar biasa.
Sejak membeli mobil pada 2010, Sarman mengaku telah setia menggunakan BBM dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) milik Pertamina. BBM jenis Solar dan Pertamina Dex. Bukan hanya karena kualitasnya, tapi karena keyakinannya bahwa Pertamina adalah milik rakyat, dan harus dijaga.
Namun, tahun ini, ketika isu miring soal pengoplosan BBM Pertalite ke Pertamax mencuat, hatinya terusik.
“Saya tidak terima. Selama ini Pertamina sudah bekerja keras melayani hingga pelosok negeri. Kalau tidak ada Pertamina, dari mana masyarakat bisa dapat BBM?” katanya tegas, saat ditemui Radar Sorong di Kota Sorong, Rabu (23/7).
Sebagai bentuk dukungan, Sarman menempelkan stiker besar bertuliskan “PERTAMINA MILIK RAKYAT INDONESIA” di bagian depan dan “KENDARAAN INI MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR DARI SPBU PERTAMINA” bagian belakang di mobilnya. Aksinya ini sempat ditegur oleh pihak Pertamina, namun ia menjelaskan bahwa semua dilakukan atas inisiatif pribadi. Tanpa sponsor, tanpa pesanan siapa pun.
“Mobil ini sangat independen. Saya tidak mengajukan proposal ke mana pun. Karena saya ingin tetap jujur menyuarakan apa yang saya yakini,” katanya.
Bagi Sarman, ketika kita mulai mengaitkan gerakan sosial dengan dana, kejujuran dan integritas pun mulai diragukan.
Sarman mengaku bahwa pernah bekerja di lingkungan Pertamina, dan tahu persis kerasnya distribusi BBM di daerah terdepan, terpencil, tertinggal (3T). Ia menyaksikan sendiri bagaimana BBM dikirim dengan truk, kapal, bahkan helikopter.
“Saya ingin masyarakat tahu, bahwa pelayanan Pertamina itu nyata. Mereka hadir di tempat yang orang lain enggan datangi,” tegasnya.
Meski harus mengorbankan waktu, tenaga, dan dana pribadi, Sarman mengaku tidak berharap apa-apa. Dia hanya ingin kepercayaan publik terhadap Pertamina pulih kembali.
“Saya tidak dibayar. Tapi saya percaya, jika energi dijaga, negeri ini akan kuat. Dan cinta seperti ini, tak bisa dibayar oleh siapa pun,” katanya.
Juli 2025 menjadi titik awal perjalanannya. Sarman memulai perjalanan dari Jakarta ke Surabaya, menyeberang ke Ambon, Baubau, hingga tiba di Kota Sorong, Rabu (23/7). Kemudian Ia melanjutkan perjalanan ke Halmahera, Senin (28/7) dan seterusnya ke Ternate, Makassar, Balikpapan, hingga kembali ke Jawa.
“Awal Juli kami melakukan perjalanan ini. Tiba di Sorong minggu lalu. Kami akan melanjutkan ke Halmahera menggunakan kapal, kemudian menggunakan mobil ke Ternate. Di Ternate menginap kemudian menggunakan kapal ke Makassar. Mobil tetap seperti biasa diangkut ke kapal,” katanya.

Dalam perjalanan itu, Sarman mengaku membawa tiga misi yaitu mengedukasi pentingnya peran Pertamina, menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-80, dan memperingati 1 abad sepak bola Indonesia.
“Pertamina itu melayani. Sepak bola itu menyatukan. Dua-duanya sangat penting untuk Indonesia,” katanya.
Di mobilnya, tak hanya tulisan Pertamina yang terpampang. Adapun wajah Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto.
“Itu pesan moral, agar beliau sebagai pemimpin tertinggi negara, memperhatikan Pertamina, menegakkan keadilan, menempatkan orang yang amanah agar tak ada lagi korupsi di tubuh PT Pertamina,” tegasnya.
Kemudian maksud terdapat wajah Presiden ke-8 yang juga ada di mobilnya, Sarman berharap agar Pemerintah mengembalikan awal lahirnya sepakbola Indonesia.
“Di usia yang ke 100 sepak bola Indonesia, saya berharap Presiden Prabowo mengembalikan marwah sepakbola Indonesia. Banyak pemain muda bertalenta, tidak harus mendatangkan orang dari luar Indonesia,”tegasnya.
Mobilnya yang penuh stiker, termasuk wajah Soeratin Sosrosoegondo, tokoh yang mengubah wajah sepak bola Hindia Belanda menjadi milik bangsa. Namun, di era sekarang, Sarman menyesalkan praktik naturalisasi pemain asing yang dianggapnya mencederai akar sepak bola nasional.
“Sepak bola Indonesia hari ini, sudah lupa sejarah. Seharusnya untuk pribumi, tapi justru diisi pemain naturalisasi. Padahal ini menyangkut awal mula pendirian PSSI dulu,” katanya.
Sehingga Sarman berharap, masyarakat dapat mengenang kembali sosok Soeratin dan nilai perjuangan yang melekat dalam sepak bola Indonesia.
“Saya ingin masyarakat ingat kembali siapa Soeratin, dan tujuan hadirnya sepak bola,” katanya.
Sarman juga turut membagikan 1.500 bendera merah putih ukuran 90×60 cm kepada warga disepanjang rute perjalanannya.
Salah satunya ketika berada di Pelabuhan Ferry, Kota Sorong, Sarman membagikan bendera ke para buruh pelabuhan.
“Terima kasih su (sudah) kasih bendera buat sa (saya) dan teman-teman juga. Kebetulan sa pu (saya punya) bendera di rumah sudah warna kuning (kusam),” kata salah satu buruh, Yonas.
Sarman juga menambahkan bahwa akan membentangkan bendera Merah Putih raksasa berukuran 50×30 meter² di Weda pada Jumat 1 Agustus 2025. “Ini bagian dari edukasi. Bendera bukan hanya simbol, tapi pemersatu,” kata pria murah senyum itu.

Perjalanan panjang ini tentu tak selalu mulus. Sarman mengaku harus tidur di mobil, menyesuaikan jadwal kapal penyeberangan, bahkan bermalam di rumah kenalan.
“Saya ditemani keponakan. Ini jadi perjalanan spiritual juga bagi kami,” pungkasnya.Sarman berharap perjuangan dirinya dapat menggugah hati nurani masyarakat Indonesia tentang keberadaan Pertamina, tentang makna Kemerdekaan Indonesia dan marwah sepak bola Indonesia.(*)












