Oleh: Tutus Riyanti
(The Voice of Muslimah Papua Barat Daya)
Komnas Perempuan menjadi inisiator dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence). HAKtP merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Kampanye ini pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. Setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Kampanye 16 HAKtP tahun 2023 diperingati dengan cara: memakai pakaian atau atribut berwarna ungu pada tanggal 25 Nopember 2023, mengedukasi diri mengenai HAKtP dan kekerasan terhadap perempuan, menyebarkan informasi tentang HAKtP melalui medsos, berpartisipasi dalam semua even yang diselenggarakan oleh lembaga, organisasi atau komunitas tertentu, serta memberikan donasi.
Bukan Solusi Tuntas
Sekilas, peringatan HAKtP tersebut terlihat sangat bermanfaat dan dianggap bisa menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan. Namun, faktanya hingga hari ini kekerasan terhadap perempuan justru semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Komnas Perempuan mencatat ada 457.895 kasus kekerasan sepanjang tahun 2022. Data Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Kependudukan menyebutkan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan hingga akhir tahun 2022 di Tanah Papua mencapai kurang lebih 200 kasus. Sedangkan data periode Januari sampai Juni 2023, Dinas PPPA Kota Sorong, Papua Barat Daya, terdapat 51 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Berdasarkan data diatas, kampanye HAKtP yang diperingati setiap tahun terlihat seperti seremonial belaka. Apalagi dengan menggaungkan kesetaraan gender, tidak menghasilkan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah, karena tidak menyasar pada akar masalah.
Akar masalah adanya kekerasan terhadap perempuan dipengaruhi oleh cara pandang kapitalisme, yang menganggap perempuan hanyalah sekedar komoditas. Perempuan dianggap sebagai barang. Tubuh perempuan hanya sekedar objek, dengan kecantikan fisik yang bisa dimanfaatkan oleh para kapitalis, seperti: menjadi model, bintang iklan, pemain sinetron, dll. Karena hal ini, perempuan kerap menjadi korban pelecehan, digoda ke arah seksual, hingga pemerkosaan.
Dalam kapitalisme, perempuan hanya berguna dan berdaya jika dia bisa bekerja dan tidak bergantung pada laki-laki. Hingga akhirnya perempuan yang menjadi ibu rumah tangga biasa, yang tidak bisa menghasilkan materi, dianggap rendah dan tidak berguna. Hal inilah yang kerap membuat perempuan sering mengalami kekerasan verbal, seperti: mendapatkan lontaran kata-kata kasar, dimaki, dihina, dihujat, direndahkan martabatnya, hingga KDRT.
Ditambah lagi, hukum positif yang berlaku di negara ini tidak tegas dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Apalagi di Tanah Papua, seringnya yang berlaku adalah hukum adat. Dimana banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang diselesaikan secara adat dan kekeluargaan saja.
Inilah akar masalah kenapa kekerasan terhadap perempuan terus terjadi dan berulang, yakni diterapkannya sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, kehormatan dan kemuliaan perempuan dicampakkan ke tingkat paling rendah. Jika ingin menjaga perempuan agar terhindar dari berbagai kekerasan, maka harus pula dicampakkan sistem kapitalisme ini.
Perempuan Terjaga dengan Islam
Dalam Islam, kehormatan dan kemuliaan perempuan wajib dijaga. Penjagaan ini tidak hanya dilakukan oleh individu perempuan sendiri, tetapi juga harus dilakukan oleh masyarakat, bahkan oleh negara.
Rasulullah SAW bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para perempuan,” (HR. Muslim No.3729). Dalam hadist yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku,” (HR.Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani).
Hadist tersebut menunjukkan bahwa Islam memperlakukan perempuan dengan sangat baik. Kemuliaan perempuan tidak dilihat dari gender, paras, harta, derajat sosial, dll, melainkan pada ketakwaannya.
Allah SWT berfirman, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti,” (QS.Al-Hujurat:13)
Memang ada yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, terutama dilihat dari kekuatan fisik. Namun hal ini tidak untuk dibandingkan atau disetarakan, justru harus bersinergi dengan perbedaan tersebut.
Dalam Islam, untuk menjaga dan melindungi kehormatan perempuan, ada beberapa ketentuan sebagai berikut:
1. Perempuan tidak wajib bekerja, karena nafkah akan ditanggung oleh walinya. Seperti: ayah, suami, saudara laki-laki, atau wali lainnya. Maka negara akan mempermudah para wali ini untuk mendapatkan nafkah.
2. Jika perempuan ingin bekerja, maka bukan karena dorongan lifestyle, ekonomi, atau kesetaraan gender. Tapi karena ingin mengamalkan ilmunya agar bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin.
3. Nafkah bagi perempuan tidak hanya berbentuk materi, tapi juga berbentuk pendidikan dan kasih sayang. Oleh karenanya, perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan agar siap menjadi ummun wa rabban al-bayt (ibu dan pengatur didalam rumahnya). Pendidikan bisa diperoleh dari keluarga, masyarakat, dan negara. Perempuan juga harus diperlakukan dengan baik oleh keluarga, masyarakat, dan negara.
4. Untuk menjaga kehormatan perempuan, maka diterapkan Nidzamul Ijtima’i (sistem pergaulan) dalam Islam. Dimana perempuan dilarang khalwat (berdua-duaan dengan laki-laki non mahram), ikhtilat (campur baur), berzina, dan tabarruj. Perempuan juga wajib menutup auratnya dengan syar’i ketika keluar dari rumahnya.
5. Dalam kehidupan publik, perempuan diberikan hak untuk melakukan amar makruf nahyi mungkar (dakwah), kepada individu atau penguasa.
6. Jika ada yang melakukan kekerasan terhadap perempuan, maka negara akan menerapkan sistem sanksi (uqubat) kepada pelaku. Hukuman bisa berupa hudud, jinayat, ta’zir, diyat, mukhalafat, sesuai pelanggaran yang dilakukan. Sistem sanksi ini akan membuat pelakunya mendapatkan jawabir (terbebas dari dosa) dan zawajir (memberikan efek jera).
Walhasil, hanya negara dengan sistem Islam kaffah lah yang mampu menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan. Negara dengan sistem kapitalisme sekuler tidak akan mampu melakukannya.
Lantas, masih perlukah perempuan muslimah ikut mengkampanyekan segala bentuk slogan atau seremonial yang digagas Barat, padahal sudah ada solusi tuntas dari Islama? (***)