Dorong Lahirnya Raperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
SORONG– Mengusung tema ” Eksistensi Masyarakat Adat di Pusaran Politik, Hukum Modern, dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Tanpa Prinsip Keberlanjutan”, Yayasan Bentang Alam Papua sukses melaksanakan kegiatan Simposium Regional yang mendorong lahirnya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua Barat Daya.

Pembina Yayasan Bentang Alam Papua, Syafrudin Sabonama dalam sambutannya mengatakan, simposium regional yang digelar di Rilylich Panorama Hotel, Selasa (18/2) terkait eksistensi masyarakat adat dalam menghadapi tantangan modernisasi di bidang politik, ekonomi dan hukum.

Dikatakan Sabonama, masyarakat adat di Papua Barat Daya merupakan penjaga tradisi, budaya dan lingkungan hidup yang telah diwariskan secara turun temurun. “Namun selama ini mereka menghadapi tantangan, termasuk ancaman terhadap tanah, ulayat, eksploitasi sumber daya alam serta marginalisasi dalam pengambilan keputusan kebijakan daerah,”ujar Sabonama.

Menjawab tantangan tersebut maka diharapkan kepada pemerintah provinsi, kabupaten/kota untuk dapat lebih responsif dan inklusif dalam mengakomodasi hak-hak adat masyarakat adat. “Salah satu langkah kongkrit yang kita dorong adalah penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat,”ujar Sabonama yang 2 periode di Lembaga Legislatif DPRD Kota Sorong.
Pj Gubernur Papua Barat Daya yang diwakili Kepala Biro Hukum dalam sambutannya memberikan apreseasi kepada Yayasan Bentang alam yang menginisiasi dilaksanakannya kegiatan Simposium Regional ini yang merupakan bagian dari upaya nyata dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat hukum adat Papua Barat Daya.
Dikatakan bahwa Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya sangat berkomitmen dalam mengakui, melindungi dan memberdayakan masyarakat hukum adat. Salah satu langkah nyata adalah penyusunan Raperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yan menurutnya saat ini dalam tahap pembahasan.
“Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya memandang simposium ini sebagai langkah penting dalam memperkuat posisi masyarakat adat dalam pusaran politik, ekonomi dan hukum modern. Hasil dari simposium ini akan menjadi landasan kuat bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan yang lebih adil dan berkeadilan sosial,”tandasnya.
Dengan dipandu moderator, Fatra M. Soltief, simposium menghadirkan 6 nara sumber yakni Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah 3 Domberay, George Kondjol, Rektor Unimuda, Dr H. Rustamaji, M.Si, Ketua STIE Bukit Zaitun, Johana Kamesrar, SE, Kepala Bapperida yang juga Asisten 1 Setda Pemprov Papua Barat Daya, Rahman, S.STP M.Si, Pembina Yayasan Bentang Alam Papua, Syafrudin Sabonama, Ketua LMA Provinsi Papua Barat Daya yang diwakili Frangky Umpain.
Suasana simposium begitu hidup. Penyajian materi dari nara sumber yang merupakan orang-orang hebat di Provinsi Papua Barat Daya menarik perhatian tamu undangan dan para peserta yang datang dari institusi pemerintah dan swasta, tokoh adat, tokoh perempuan, perwakilan mahasiswa, LSM dan beberapa organisasi kemasyarakatan lainnya.
Ketua DAP Domberay, George Kondjol mengatakan, saat ini banyak persoalan yang dihadapi masyarakat adat akibat berbagai kebijakan dan proyek pembangunan yang tidak memperhitungkan keberadaan masyarakat adat.
“Beberapa tantangan utama yang dihadapi adalah ekspansi industri, perkebunan dan pertambangan yang seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Demokrasi yang tidak berpihak pada masyarakat adat sehingga mereka tidak memiliki ruang yang cukup untuk menyampaikan aspirasi mereka,”tandas George Konjol.
“Kami berharap melalui pertemuan ini dapat dihasilkan regulasi yang jelas dan kuat sehingga tidak ada lagi tarik menarik kepentingan yang merugikan masyarakat adat,”imbuh George Kondjol.
Sementara itu Rektor Unimuda, Rustamaji mengatakan, pendidikan merupakan kunci utama untuk memastikan masyarakat adat Papua dapat berkembang, maju dan sejajar dengan daerah lain di Indinesia.
Dan Unimuda merupakan satu-satunya kampus di Papua bahkan di dunia yang memiliki Kepala Urusan Adat. “Ini bukan hanya sekedar jabatan , tapi sebuah komitmen bahwa adat dan pendidikan harus berjalan beriringan,”ucap Rustamaji.
Dalam sesi tanya jawab, saat diberikan kesempatan oleh moderator, 100 lebih peserta yang memenuhi semua kursi yang disiapkan begitu antusias untuk mengajukan pertanyaan. Dari pertanyaan yang diajukan, intinya peserta berharap adanya regulasi atau Perdasus yang melindungi hak-hak masyarakat adat di Papua Barat Daya.
Untuk mewujudkan itu, Plt Asisten I Pemrov Papua Barat Daya, Rahman berharap keberadaan lembaga masyarakat adat diperkuat dengan peraturan daerah sebagaimana yang telah diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Sorong.
Menjawab salah satu pertanyaan peserta dari kaum perempuan, bahwa eksploitasi dari hukum masyarakat adat berdampak pada kaum wanita, Johana Kamesrar mengatakan, salah upaya yang dapat dilakukan diantaranya bahwa kaum Perempuan harus mendapat pengakuan dari masyarakat adat serta mendorong partisipasi perempuan dalam pengambilan Keputusan.
Ditemui media usai kegiatan, Pembina Yayasan Bentang Alam Papua, Syafrudin Sabonama mengatakan, dari kegiatan simposium ini diharapkan dalam kolaborasi pemerintah dan masyarakat akan lahir regulasi yang mengatur esksistensi masyarakat adat. Sehingga kebijakan ataupun keputusan dari pemerintah pusat dan daerah akan selalu memperhataikan aspirasi dari masyarakat adat.
“Dari simposium ini kita akan mengkaji secara ilmiah apakah raperda yang dihasilkan logis atau tidak. Tadi di dalam forum berkembang keinginan besar bahwa Perda harus dimunculkan. Dari situ kita akan tuangkan dalam konsultasi-konsultasi, baik yang bersifat komunal atrau vanyak orang maupun kepada tokoh-tokoh kunci dari masyarakat adat itu,”ujar Sabonama yang juga Ketua DWP PAN Papua Barat Daya. (ros)