
SORONG-Jumlah calon anggota legislatif (caleg) Orang Asli Papua (OAP) di Tanah Papua dinilai sedikit, Ketua Forum Pengawal Perjuangan Rakyat (Fopera) Papua Barat Daya (PBD) Amus Yanto Ijie bersama Forum Lintas Suku Asli Papua datangi Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua Barat Daya menyampaikan aspirasi eksistensi otonomi khusus di tanah Papua dalam menjaga hak-hak politik orang asli Papua.
Lanjutnya, Terutama hak politik di bidang legislatif, yaitu calon anggota DPR baik DPRD Kabupaten/Kota, DPR Provinsi, DPR RI dan juga DPD RI bahkan sampai pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan datang.
Yang mana, Fopera menyampaikan aspirasi masyarakat yang meminta agar KPU RI menerbitkan PKPU khusus.
“Dalam aspirasi kami meminta agar dalam waktu yang singkat ini, KPU mengeluarkan PKPU khusus untuk pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah di tanah Papua,” katanya usai melakukan pertemuan di Kanto KPU PBD, Selasa (30/1).
Yanto juga menegaskan bahwa, pelaksanaan pemilu legislatif di tanah Papua dinilai cacat hukum. Hal ini dikarenakan partai politik dan KPU RI telah melanggar pasal 28 ayat 3 dan 4 Undang-undang otonomi khusus.
“Seluruh caleg di tanah Papua itu illegal, karena tidak ada persetujuan dan pertimbangan dari Majelis Rakyat Papua. Kemudian pemilu di tanah Papua berpotensi pemilu ulang, khusus pemilu legislatif. Karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 pasal 18 dan juga Undang-undang otonomi khusus pasal 28 ayat 3 dan 4,” tegasnya.
Yanto menjelaskan, ini merupakan solusi supaya caleg, partai dan juga negara tidak dirugikan karena sudah mengeluarkan uang yang begitu besar dan banyak untuk menyelenggarakan pemilu di tanah Papua.
“Kami tiga juta warga negara Republik Indonesia asli Papua yang juga punya hak konstitusional yang diatur dalam undang-undang otsus tidak meminta agar konstitusi ini dirubah, kami hanya minta untuk diterbitkan PKPU khusus untuk pelaksanaan pileg dan pilkada di tanah Papua,” ujarnya.
Yanto menegaskan Dalam hal ini, tidak ada kata terlambat untuk dikeluarkannya PKPU khusus bagi tanah Papua. Yang mana didalam PKPU khusus itu harus mengatur tentang persentase kursi DPR di tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
“Tadi kami juga sudah memberikan solusi agar dalam PKPU itu harus memberikan persentase kursi DPR di tingkat kabupaten, kota dan provinsi. Untuk kabupaten, kota dan provinsi yang jumlah penduduk orang asli Papua di bawah 50 persen, diberikan kuota kursi legislatif 70 persen orang asli Papua. Sedangkan untuk kursi DPR RI dan DPD RI 80 persen,” jelasnya.
Dikatakan Yanto, Yang menjadi anggota DPR RI dan DPD RI perwakilan Papua harusnya orang asli Papua, karena namanya Dewan Perwakilan Daerah.
“Sebagai warga negara kita menghargai dan menghormati kemajemukan yang ada disini, tetapi untuk kami orang asli Papua kami minta untuk ada kuota 80 persen di DPR RI,” ujarnya.
Yanto mengungkapkan bahwa Dalam waktu dekat Fopera bersama dengan para tokoh yang tergabung dalam forum lintas suku asli Papua akan melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).
Dikatakan Yanto, bahwa Komisioner KPU RI dalam penyusunan PKPU mengabaikan daerah otonomi khusus yang ada di tanah Papua, yang telah diatur melalui Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus.
“Oleh karenanya dalam pelaksanaan pileg, kami dari Fopera, forum lintas suku dan juga tokoh masyarakat, kita akan melaporkan secara resmi Komisioner KPU RI ke DKPP,” katanya.
Menurutnya, dalil delik aduan yang akan diajukan yaitu pasal 28 ayat 3 dan 4 Undang-undang otonomi khusus dan pasal 18 UUD 1945.
Sementara itu, Ketua KPU Provinsi Papua Barat Daya Andarias Daniel Kambu menegaskan bahwa pada prinsipnya KPU tetap berjalan sesuai dengan tahapan-tahapan pemilu yang ada dan tidak bisa ditunda-tunda.
“Pemilu bisa ditunda karena alasan bencana alam, peperangan dan lain-lain. Sepanjang tidak ada itu, tahapan tetap jalan,” tegasnya.
Kemudian dengan adanya permintaan Fopera PBD untuk diterbitkannya PKPU khusus pada pileg di tanah Papua, kata Andarias, hal itu merupakan hak masing-masing warga negara dan ada lembaga-lembaga hukum yang berkompeten yang bisa melakukannya.
“Kami menerima aspirasi dan akan disampaikan ke KPU RI. Kami dibawah hanya pelaksana regulasi, tidak punya kewenangan untuk merubah kebijakan ataupun menghasilkan regulasi. Karena kewenangan itu ada di KPU RI,” pungkasnya.(zia)