Oleh : Boban Abdurazzaq Sanggei *)
DI TENGAH caruk-maruk kegiatan pemilihan daerah 2024 sudah sewajarnya melahirkan ketegangan antar elit politik dalam wilayah tersebut. Dalam Kehidupan berpolitik biasanya suasana ketegangan ini ditimbulkan oleh kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan pilihan atau kepentingan pribadi.
Namun hal ini sebetulnya tidak sepenuhnya buruk karena dalam demokrasi setiap warga negara memiliki hak individu dan kebebasan, demokrasi menghargai hak-hak individu seperti kebebasan berbicara, kebebasan beragama, dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan yang berarti setiap orang memiliki kebebasan untuk mengejar kepentingannya sendiri dalam batas-batas hukum.
Namun tidak hanya hak yang menjadi kata penting dari konsep demokrasi namun ada tanggung jawab yakni tanggung jawab sosial, setiap Individu diharapkan untuk berkontribusi kepada masyarakat dan menghormati hak-hak orang lain. Maka tindakan egois yang merugikan orang lain atau masyarakat umum sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Perlu di perhatikan penjelasan di atas merupakan konsep sederhana yang perlu diketahui oleh seluruh masyarakat di negara demokrasi.
Jika ditabrakkan dengan kehidupan tradisional di Papua tentu konsep ini harus sedikit di modifikasi sehingga dapat di terapkan dengan baik. Kehidupan sosial di Papua sangatlah berbeda, ada konsep adat dan wilayah petuanan yang menjadi kewajiban bagi orang asli Papua untuk menjaga dan merawatnya.
Adat istiadat di Papua sangatlah kental sehingga hak individu bukan menjadi yang utama untuk ditegakkan di tanah Papua. Jika dilihat dari data di beberapa jurnal, Papua memiliki 300 suku asli yang mendiami pulau Papua sebelum dunia menemukan pulau Papua. Dalam perkembangannya suku-suku di Papua sering sekali mendapati perlakuan yang sangat diskriminatif, apalagi dalam periode pemerintahan orde baru masyarakat adat sering di pandang sebelah mata oleh pemerintah.
Hal ini bisa dilihat pada 1990-an Theys Eluay mengubah lembaga masyarakat adat (LMA) yang seharusnya menjadi salah satu pendukung pemerintah Indonesia menjadi salah satu oposisi bagi pemerintahan Indonesia.
Seiring berkembangnya Lembaga masyarakat adat yang menjadi salah satu ujung tombak pergerakan politik untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat Papua. Namun pada tahun 2001 setelah kematian Theys Eluay Lembaga masyarakat adat (LMA) mengganti nama menjadi Dewan Adat Papua (DAP). Lalu mereka merombak seluruh arah dan tujuannya yang sebelumnya Lembaga masyarakat adat yang di bentuk oleh pemerintah menjadi lembaga independen di luar lingkaran pemerintah untuk menjaga dan mengadvokasi hak-hak masyarakat Papua dalam mengimplementasikan Otonomi Khusus.
Pada poin ini kita dapat memahami bahwasanya terbentuknya dewan adat Papua merupakan suatu bukti bahwa tujuan utama lembaga ini adalah melindungi dan merepresentasikan masyarakat adat di depan pemerintah daerah maupun pusat. Maka sudah sejatinya dewan adat Papua ataupun dewan adat di setiap kabupaten menerapkan dan memahami tujuan yang mulia tersebut.
Dalam wilayah kerjanya pun sangatlah idealis, para dewan adat seharusnya memiliki etika serta moral yang sangat tinggi dalam menjalankan tugasnya sehingga aspirasi, masukan dan keresahan masyarakat bisa di advokasikan dengan baik ke pemerintah serta meminimalisir konflik kepentingan antar orang Papua/suku.
Namun dalam berjalannya, lembaga independen ini sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum di dalamnya. Hal ini terjadi di Kabupaten Kaimana Provinsi Papua Barat, oleh beberapa dewan adat yang membuat pergerakan yang memecah solidaritas 8 suku di Kaimana.
Mereka menuding bahwasanya ada beberapa marga yang tidak memiliki wilayah petuanan atau kasarnya marga-marga tersebut adalah pendatang, bahkan mereka sampai membuat pernyataan resmi beserta tanda tangan dan cap atas nama dewan adat Kaimana bahwasanya marga yang di bawa oleh salah satu anggota DPRD tidak asli. Padahal tudingan dan pernyataan tersebut tidak berdasar pada sumber yang valid atau lebih tepatnya hanya berdasarkan sinisme tanpa ada konfirmasi dari petinggi adat atau orang tua yang paham dengan cerita sejarah.
Dari sini menimbulkan pertanyaan besar, apakah dewan adat Kaimana bisa mengambil gerakan politis seperti itu? Dan apakah ini masih dalam koridor “menjaga dan melindungi masyarakat Papua”? Pertama lembaga dewan adat Kaimana adalah representasi 8 suku yang ada di Kaimana atau dalam arti sifat politis dan ambisi tidak boleh ada dalam jajarannya, pernyataan ketua dewan adat Kaimana di beberapa media sangat bersifat politis ia menyatakan bahwa pemimpin daerah mulai dari tingkat provinsi hingga daerah harus orang asli Papua (OAP) namun pada saat yang bersamaan ketika verivikasi faktual yang dilakukan oleh MRP PB di Kaimana untuk mengetahui keaslian Ke-Papua-an Mohammad Lakotani mereka tidak hadir karena menolak bahwa Mohammad Lakotani bukan orang asli Kaimana.
Yang menjadi kontradiksi adalah Dewan adat Kaimana merupakan lembaga Independen namun mereka tidak mencerminkan hal tersebut sehingga ketidaktahuan sejarah dan besarnya ego ketua dewan adat Kaimana mencerminkan adanya gerakan politik dan ambisi untuk mendapatkan kekuasaan. Seharusnya Dewan Adat Kaimana hadir untuk mendengar cerita dari orang-orang tua yang paham tentang sejarah.
Lalu di sisi lain ada dewan adat dari salah satu suku membuat lembar pernyataan dengan tanda tangan serta cap DAK yang menyatakan bahwa marga yang dibawa oleh Anggota DPRD Kaimana Kasir Sanggei adalah marga dari nenek moyang perempuan dan kasir Sanggei memiliki marga Gurium. Penulis mengonfirmasi dari Kasir Sanggei dan beberapa petinggi adat Koiway menyatakan bahwa kakek moyang laki-laki dari kasir Sanggei adalah Sapala yang membawa marga Sanggei dan nenek moyang perempuan yakni Manis yang membawa Marga Rumua.
Yang menjadi rancu juga adalah pernyataan ini dilontarkan lagi-lagi tanpa memiliki dasar dari sumber yang valid dan tidak ada konfirmasi ke pihak suku Koiway. Hal ini terkesan bahwa lembaga dewan adat Kaimana digunakan untuk memfitnah dan memecah solidaritas suku-suku asli di Kaimana.
Sangat disayangkan orang-orang yang dipercaya untuk memegang kendali dewan adat Kaimana, malah memakai lembaga ini untuk kepentingan politik pribadi. Dan penulis menganalisis bahwasanya oknum yang sedang menjalankan rencana buruk ini ingin menjegal orang-orang ini agar di masa mendatang mereka saja yang dapat maju untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah atau provinsi. Ambisi terhadap kekuasaan yang begitu besar dapat terlihat secara jelas di setiap langkah mereka layaknya tikus yang membunuh kawannya sendiri untuk menguasai gudang makanan.
Dari pembahasan ini, dewan adat seharusnya bijaksana dalam menjalankan tugasnya karena dewan adat merupakan penyatu suku-suku yang ada di Kaimana maupun di seluruh tanah Papua. Jika hal-hal ini seperti ini terus dilakukan cita-cita dibentuknya dewan adat untuk melindungi, merawat dan meminimalisir konflik kepentingan antar sesama Papua tidak akan berjalan dan indah pada waktunya.Maka dari itu pesan untuk generasi yang akan menjadi pemimpin negeri mulai dari lembaga pemerintahan atau lembaga non-pemerintah yang ada di Papua, mulai untuk membenahi pengetahuan etika, moral dan pemahaman sejarah masing-masing suku agar ke depannya gerakan ini bisa di batalkan sejak dalam pemikiran individu tersebut. (**)
*) Penulis adalah MahasiswaJurusan Hubungan International pada Universitas Muhammadiyah Malang, Jatim