Ir Nita Kartika,MSc : Perhutanan Sosial Meningkatkan Akses Masyarakat Mengelola Hutan
SORONG – Ir Nita Kartika,MSc, Perencana Ahli Madya pada Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, melalui materinya dengan judul Kebijakan Perhutanan Sosial dalam Pembangunan Nasional, yang disampaikan dalam Focus Grup Discussion Pengelolaan Perhutanan Sosial Untuk Kesejahteraan Masyarakat dengan pemerintah provinsi Papua Barat Daya mengatakan, isu pembangunan kehutanan sangat berkaitan dengan tantangan lingkungan global dalam hal ini the triple planetary crisis
Seluruh dunia saat ini sedang menghadapi tiga krisis planet (triple planetary crisis) yang menentukan masa depan kehidupan yang baik dan sehat di bumi. Triple planetary crisis mengacu pada tiga masalah utama yang saling terkait, yaitu perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, serta polusi dan kerusakan lingkungan. Masing-masing masalah tersebut memiliki sebab dan akibat sendiri dan setiap masalah perlu diselesaikan jika kita ingin memiliki masa depan yang baik.
“Diperkirakan 50-75% dari populasi global beresiko terpapar dampak negative perubahan iklim pada tahun 2100. Polusi udara menyebabkan hingga 4,2 juta kematian setiap tahun, serta saat ini sekitar 1 juta spesies tumbuhan dan hewan menghadapi ancaman kepunahan. Munculnya triple planetary crisis dapat mengancam kelangsungan pembangunan serta penghidupan jutaan orang di seluruh dunia pun terancam, berimplikasi terhadap pencapaian target-target pembangunan Indonesia. Untuk itu, diperlukannya pendekatan ekonomi yang dapat menyelaraskan antara aspek pertumbuhan ekonomi dan lingkungan,” jelasnya.
Kartika melanjutkan, khusus di bidang kehutanan, ada tujuh tantangan pembangunan diantaranya tekanan laju deforestasi. Walaupun tren laju deforestasi cenderung mengalami penurunan selama 2003-2020, demand/tuntutanlahan dari kawasan hutan ke bukan hutan akan terus meningkat seiring peningkatan populasi dan pemenuhan terhadap pangan dan energy. Tantangan lainnya, perubahan iklim yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi, kebakaran hutan dan lahan gagal panen, dan kualitas kesehatan. 99,5% dari kejadian sepanjang tahun 2021 merupakan bencana hidrometeorologi, 3,43 juta hektar hutan dan lahan terbakar sejak tahun 2016-2021, serta 1250 kejadian banjir selama tahun 2022. Berikutnya, keanekaragaman hayati, dimana sekitar 1 juta spesies tumbuhan dan hewan menghadapi ancaman kepunahan. “Selama 50 tahun terakhir, kita telah kehilangan 1-2,5% burung, mamalia, amfibi, reptile dan ikan, serta sekitar satu juta spesies tanaman dan hewan beresiko punah,” tuturnya.
Selain itu, penetapan hutan tetap dimana luas habitat akan berkurang dari 80,3% di tahun 2000 menjadi 49,7% di tahun 2045. Demand lahan dari kawasan hutan ke bukan hutan akan terus meningkat seiring peningkatan populasi dan pemenuhan terhadap pangan dan energy. Rendahnya harga kayu dan biaya industry yang tinggi, juga merupakan tantangan pembangunan di bidang kehutanan. “Kondisi pasar kayu sedang memburuk dikarenakan turunnya harga kayu. Produk turunan seperti pulp dan woodboard masih memiliki potensi yang tinggi, namun perusahaan hutan masih kesulitan dalam hilirisasi karena terdapat barrier to entry yang tinggi,” jelasnya. Tantangan lainnya yakni belum ditetapkannya valuasi sector kehutanan, padahal valuasi ekonomi ekosistim hutan penting diketahui sehingga dapat diperoleh gambaran pentingnya ekosistim hutan bagi kelestarian fungsi ekologis dan kehidupan manusia berdasarkan nilai ekonominya. Kolaborasi antarpihak merupakan permasalahan lainnya, dan diperlukan kolaborasi multi pihak antara pemerintah, akademisi, swasta, serta amasyarakat dan pihak lainnya dalam rangka pembangunan kehutanan menuju Indonesia Maju 2045.
Diterangkannya, Perhutanan Sosial merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang landasan hukumnya UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, digunakan sebagai pedoman penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang ditetapkan oleh Presiden sebagai acuan program pemerintah dalam kurun waktu 5 tahun. RPJMN kemudian diterjemahkan ke dalam program kerja tahunan yakni Rencana Kerja Pemerintah, dan RKP selanjutnya menjadi pedoman dalam penyusunan RAPBN.
Perhutanan Sosial dalam RPJMN 2029 merupakan salah satu prioritas nasional yakni memantapkan sistim pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pengan, energy, air, ekonomi syariah, ekonomi digital, ekonomi hijau dan ekonomi biru. Sebagai salah satu prioritas nasional, Perhutanan Sosial program prioritasnya yakni Pengelolaan Hutan Lestari, sedangkan kegiatan prioritasnya peningkatan fungsi sosial kawasan hutan. Adapun proyek pembangunan Perhutanan Sosial diantaranya peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Rincian outputnya, Peningkatan kemandirian usaha kelompok tani hutan; Peningkatan kapasistas kelompok masyarakat penerima akses kelola kawasan hutan; Pendampingan kelompok perhutanan sosial; Pengembangan mitra perhutanan sosial dan kemitraan lingkungan; Pengembangan Hutan Adat; serta Peningkatan Kemandirian Usaha KUPS. Sedangkan Proyek Pembangunan berupa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, rincian outputnya yakni Distribusi akses kelola kawasan hutan oleh mayarakat; Penanganan konflik tenurial di kawasan hutan; Evaluasi pemberian persetujuan kelola kawasan hutan oleh masyarakat, serta Penetapan Hutan Adat.
Perhutanan Sosial menjadi bagian pelestarian dan peningkatan produktivitas hutan. Perhutanan Sosial meningkatkan akses masyarakat untuk mengelola hutan melalui hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan. Adapun sumber perbiayaan program dan kegiatan Perhutanan Sosial diantaranya dari Dana Bagi Hasil yang bersumber dari APBN. “Ruang lingkup kegiatan Perhutanan Sosial yang dapat didukung dari Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH DR) yakni Pembibitan Tanaman Hutan, Penanaman Lahan Kritis, Pembangunan dan Pengelolaan Hasil Hutan, Pemberdayaan Masyarakat, serta Penyuluhan Kehutanan,” terangnya sembari menambahkan, berdasarkan Permendes PDTT Nomor 13 Tahun 2023, Perhutanan Sosial juga merupakan salah satu fokus pembiayaan dana desa yang bersumber dari APBN. (ian)