SORONG – Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu,ST,MSi melalui Proyek Perubahan dengan tema Pentingnya Pengelolaan Perhutanan Sosial bagi Kesejahteraan Masyarakat Indonesia yang diajukan dalam Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat 1 Angkatan 60, mengungkapkan bahwa sumber-sumber pembiayaan Program Perhutanan Sosial itu bisa dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI yang mengelola insentif bagi negara-negara berkembang yang telah berupaya dalam program REDD+ (Reducing Emission from Deforestation dan Degradation).
Dengan luas hutan di Provinsi Papua Barat Daya 3.636.189 hektar, tentu membutuhkan dana pengelolaan yang tidak sedikit. Karena itu, aspek luas tutupan hutan harus menjadi indikator maupun pertimbangan dalam distribusi Dana Alokasi Umum (DAU). Jika Pemda memiliki luas tutupan hutan yang semakin besar, DAU yang diberikan pemerintat pusat ke daerah harusnya juga semakin besar, sehingga bisa berdampak langsung ke pelestarian lingkungan. “Kami uga menjadwalkan untuk melakukan audiens dengan Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kemendagri, agar dana tutupan hutan harus dimasukkan dalam indikator distribusi DAU, dan kami berharap dana 15% DAU untuk tutupan hutan itu sudah bisa masuk di Papua Barat Daya sehingga kami bisa menggunakan dana itu untuk membiayai program-program Perhutanan Sosial,” kata Kelly Kambu yang ditemui Radar Sorong di Aston Hotel Sorong, Rabu (7/8/2024).
Mengenai alokasi Dana Otonomi Khusus, Kelly mengakui sampai hari ini tidak mendapatkan Dana Otsus, tapi pihaknya tetap optimis bahwa perjuangan kami melalui pendidikan kepemimpinan nasional tingkat satu angkatan 60 yang sedang dijalani sekarang ini dan mengambil Perhutanan Sosial sebagai proyek perubahan, maka kedepan dana Otsus itu bisa membiayai kelompok-kelompok Perhutanan Sosial. “Kalau dana desa itu sudah ada edaran Kemendagri, tinggal untuk Perhutanan Sosial dari kebijakan Otsus. Karena ini Orang Asli Papua (OAP) yang jaga hutan untuk kepentingan dunia, maka harus ada tanggungjawab dunia, tanggungjawab negara dan pemerintah kepada OAP yang jaga hutan itu,” tegasnya.
Demikian juga dengan dana bagi hasil migas atau dana bagi hasil sumber daya alam lainnya, ke depan pihaknya mengharapkan juga dialokasikan untuk membiayai program-program Perhutanan Sosial. “Mudah-mudahan yang kami perjuangkan ini bisa terealisasi. Secara nasional, Perhutanan Sosial merupakan program prioritas, tetapi secara lokal belum diakomodir, sehingga ini perlu menjadi perhatian dan perlu ada intervensi kebijakan untuk membingkai program Perhutanan Sosial di tanah Papua secara keseluruhan dan khususnya di Papua Barat Daya,” imbuhnya.
Terkait dengan pengelolaan karbon di Papua Barat Daya, Kelly Kambu mengatakan pihaknya akan membuat kajian akademis, dan selanjutnya menggagas pembentukan Badan Usaha Milik Daerah Bidang Jasa Lingkungan dan Kehutanan. “Untuk apa, agar para pelaku usaha atau investor karbon yang masuk di Papua Barat Daya, itu provinsi dapat apa disana, dan masyarakat dapat apa disitu. Untuk dapat apa dan dapat itu, maka perlu ada BUMD sebagai perwakilan pemerintah khusus investasi di bidang karbon, sehingga kita berbicara kedepan nanti perusahaan yang masuk bukan hanya bayar pajak tapi bagaimana bagi hasilnya, sehingga masyarakat dapat untungnya, pemerintah dapat untungnya juga. Kita harus duduk bersama bicarakan ulang semua pelaku usaha yang mau berinvestasi dan mencari lahan konsesi mereka di wilayah Papua Barat Daya, itu harus kita pastikan kembali bentuk-bentuk pengelolaan bisnis karbon ini sehingga ada manfaatnya bagi pemerintah daerah dan masyarakat,” kata Kelly Kambu.
Menurutnya, BUMD Bidang Jasa Lingkungan dan Kehutanan diperlukan karena kedepan program pengelolaan Perhutanan Sosial juga akan mengelola karbon. Misalnya, mereka yang sudah punya SK baik itu Hutan Desa, Hutan Adat, dan sebagainya, bisa dihitung kontribusinya atau kemampuan hutan itu untuk menyerap karbon, dan hasilnya bisa kita ajukan atau daftarkan di Standar Registrasi Nasional Karbon, agar pengelola hutan dalam hal ini masyarakat adat bisa mendapatkan kontribusi jasa lingkungan dari konsesi karbon. “Masyarakat sejahtera hutan lestari untuk dunia internasional, untuk Indonesia dan untuk tanah Papua itu sendiri, sehingga bisa meredam perubahan iklim, pemanasan global,” ucap Kelly sembari menambahkan, pihaknya akan menyurati Wamendagri dalam rangka melakukan audiens terkait dengan rencana kick-off program Perhutanan Sosial di Provinsi Papua Barat Daya.
Di tempat yang sama, CEO EcoNusa Foundation, Bustar Maitar mengatakan sekarang ini orang bicara karbon, perusahaan datang kemana-mana untuk mau cari konsesi karbon, nah ini harusnya bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan pendapatan yang disebut jasa lingkungan. “Konsesi karbon ini jasa lingkungan, ketika pohon yang dijaga itu menyerap karbon, itu kan dihitung sebagai jasa kontribusi lingkungan. Dan karena masyarakat adat pemilik hutan adat yang salah satu fungsinya untuk menyerap karbon, maka masyarakat adat seharusnya dapat pendapatan dari jasa lingkungan itu,” kata Bustar Maitar.
Pemerintah daerah sebagai pengelola wilayah lanjut Bustar, harusnya juga bisa mendapatkan lebih dari sekedar pajak. “Caranya bagaimana, kita bisa tiru caranya Freeport itu. Dulu 100 persen saham Freeport milik Freeport MacMoran di Amerika. Sekarang, 50 persen lebih sahamnya milik pemerintah Republik Indonesia. Siapa yang mewakili pemerintah Indonesia sebagai pemilik saham Freeport, BUMN. Dalam konteks di daerah, pemerintah daerah juga bisa menjadi pemilik saham dari perusahaan-perusahaan konsesi karbon itu. Melalui apa, ya BUMD, sehingga selain pajak itu sendiri, PAD juga bisa dihasilkan dari kepemilikan saham pemerintah daerah melalui BUMD di perusahaan karbon itu,” tandasnya.
“Secara nasional kita punya contoh ada, Freeport, tapi pada level provinsi dan kabupaten kota belum ada contoh. Kalau misalnya pemerintah provinsi Papua Barat Daya melakukan ujicoba dan bisa berhasil, maka ini bisa menjadi contoh bagaimana pemerintah daerah juga berkontribusi dalam pengelolaan sumber daya alam yang lebih bijaksana, dan bisa memberikan manfaat langsung kepada masyarakat dan pendapatan asli daerah, begitu,” sambungnya.
Ditambahkannya, terkait konsesi karbon dan Perhutanan Sosial memang aturannya masih digodok, tetapi yang paling penting adalah meregistrasi bahwa karbon itu milik masyarakat, itu yang harus diregistrasi di Sistim Registrasi Nasional Cabon (SRN). Kalau misalnya kita bisa memulai, kita hitung carbonnya berapa, potensinya berapa dan kemudian itu diregistrasi di Sistim Registrasi Nasional Cabon (SRN) bahwa di wilayah ini sejumlah sekian milik masyarakat A pengelola Perhutanan Sosial, itu sesuatu contoh yang lain yang hampir belum ada sekarang. Jadi banyak hal inovasi sebenarnya yang bisa kita lakukan untuk memastikan bagaimana pengelolaan hutan, pengelolaan sumber daya alam di tanah Papua secara keseluruhan dan khususnya di Papua Barat Daya, itu benar-benar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk masyarakat adat, dan peningkatan pendapatan asli daerah itu sendiri tanpa harus merusak hutan. Jadi hutannya tetap terjaga, masyarakatnya sejahtera, PAD-nya meningkat, begitu,” imbuhnya. (ian)