SORONG – Kebijakan Perhutanan Sosial yang telah ditetapkan sebagai kebijakan prioritas nasional pada tahun 2015 di bawah kendali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyediakan pemberian hak kelola legal kawasan hutan kepada masyarakat. Founder dan CEO EcoNusa Foundationt, Bustar Maitar mengatakan Perhutanan Sosial merupakan terobosan pemerintah Indonesia yang advance, mengingat selama puluhan tahun masyarakat sipil termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (Non Govermental Organization) selama puluhan tahun memperjuangkan hak masyarakat, hak pengelolaan dan lain sebagainya, baru kemudian ada perkembangan dengan adanya kebijakan Perhutanan Sosial.
Ditemui Radar Sorong di Aston Hotel Sorong, Rabu (7/8/2024), Bustar menceritakan bahwa konsep Perhutanan Sosial di Papua pertama kali itu di Manggroholo-Sira Kabupaten Sorong Selatan yang didorong pihaknya saat di Greenpeace. “Memang waktu itu masih Hutan Desa, kita maunya Hutan Adat. Karena apa, adat bagi kita di tanah Papua itu sesuatu yang penting, tetapi pada waktu itu yang kita dapat Hutan Desa. Bahkan waktu itu kita berhasil meningkatkan status kawasan dari hutan yang dapat dikonversi menjadi hutan produksi,” kata Bustar Maitar.
Diungkapkannya, bila sebelumnya ada rencana investasi perkebunan kelapa sawit, maka ketika ditingkatkan statusnya menjadi hutan produksi, maka tidak bisa lagi dikonversi, sehingga masyarakat hutannya lebih terjaga. Dalam konteks yang lebih besar, beberapa waktu lalu akhirnya sub suku Knasaimos mendapatkan SK MHA (Masyarakat Hukum Adat) dari Bupati Sorong Selatan, dan sedang diusulkan untuk mendapatkan SK Hutan Adat.
“Beberapa waktu lalu saya ngobrol dengan Ibu Menteri Lingkungan Hidup, saya ingat selalu Ibu Menteri bilang untuk tandatangan SK Perhutanan Sosial itu tidak terlalu susah, tetapi apa yang terjadi setelah SK Perhutanan Sosial itu ada, itu yang lebih penting karena semangat Perhutanan Sosial itu bagaimana peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama dalam kawasan hutan. Memberikan akses, memberikan hak dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tiga itu merupakan inti dari kebijakan Perhutanan Sosial,” jelasnya.
Dikatakan, memberikan hak itu contohnya Hutan Adat, memberikan akses itu contohnya Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan (HKn). “Ketika hak dan akses didapatkan, yang paling penting lagi bagaimana masyarakat di dalam kawasan hutan itu ada peningkatkan ekonomi dan kesejahteraannya, itu yang paling penting dan ini harus diakselerasi,” tandasnya.
Menurutnya, berbicara masyarakat yang mengusahakan hutan itu ada 3 hal yang paling penting. Produk di masyarakat, ada pisang, keladi, hasil hutan non kayu dan sebagainya, itu semua ada di masyarakat, tetapi persoalan utama yang dihadapi, modal untuk mengusahakan itu tidak ada. Tantangan pertama, permodalan tidak ada. Yang kedua, kalaupun permodalan ada sering terkendala pemasaran. Jadi tantangan kedua itu pasar, akses market. Ketika modal ada, akses market ada, persoalan lainnya adalah bagaimana memastikan keberlanjutan, kontinuitas dari suplay produk. Misalnya saya pembeli, setiap bulan butuh 50 kg keladi, saya harus dapatkan 50 kg setiap bulan, kalau tidak ada 50 kg setiap bulan saya tidak bisa bikin keripik keladi misalnya, gitu. Sering kali kontinuitas produk yang jadi kendala, juga misalnya kualitas produk, misalnya keladi yang sekarang kecil-kecil padahal harusnya butuh yang besar-besar. Maka tantangan ketiga itu adalah pendampingan masyarakat. “Jadi akses permodalan, akses market dan pendampingan, ini prasayarat utama dan yang harus dikerjakan kalau kita mau melihat Perhutanan Sosial ini memberikan manfaat dari sisi hak, akses dan ekonomi masyarakat,” jelasnya.
Ditambahkannya, Papua Barat Daya dengan posisinya yang sangat strategis ini punya potensi yang besar untuk menjadi akselerator produk-produk masyarakat adat bukan hanya di Papua Barat Daya tetapi juga dari seluruh tanah Papua. Karena itu, bagaimana kita mendorong agar pusat pengolahan produk-produk masyarakat adat bisa dilakukan di Sorong. “Kita punya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), ini harusnya dimanfaatkan untuk mendorong hilirisasi produk-produk masyarakat adat. Hilirisasi itu tidak hanya sebatas hasil alam mineral, tetapi kita harus pikir bagaimana hilirisasi dari produk-produk masyarakat adat seperti kelapa, pisang, keladi, dan sebagainya, harusnya bisa diolah di Sorong ini, masak untuk olahnya harus dikirim ke Jawa atau Sulawesi, masak kita tidak bisa olah di kita punya tanah sendiri,” imbuhnya.
Wilayah Papua Barat Daya sangat strategis, bisa menjangkau wilayah Selatan Papua dan utara Papua dengan kapal, sehingga ketika ada kapal angkut produk-produk masyarakat adat dari selatan ataupun utara tanah Papua ini, itu bisa dikumpulkan dan olah di Sorong. “Diolahnya jadi apa, macam-macam produk jadi yang bisa dipasarkan khususnya di tanah Papua, sehingga ke depan tidak perlu lagi datangkan produk-produk yang berbahan dasar pisang misalnya untuk makanan bayi dari Jawa ke tanah Papua karena sudah ada dan sudah diproduksi di tanah Papua. Bila produk masyarakat bisa dipasarkan dan diolah untuk kesejahteraan masyarakat, maka masyarakat jaga itu dia punya hutan maka hutan akan lestari,” pungkasnya. (ian)