SORONG – Direktur Pengembangan Perhutanan Sosial Direktorat Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial pada Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Catur Endah Prasetiani P.,S.Si,MT mengatakan, skema Perhutanan Sosial yang paling cocok diterapkan yakni skema Agroporestri. Penegasan ini disampaikannya saat menjadi pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diinisiasi Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu,ST,MSi yang sedang mengikuti Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat 1 dengan Proyek Perubahannya mengambil tema Pentingnya Pengelolaan Perhutanan Sosial Bagi Kesejahteraan Masyarakat.
Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang dapat diaplikasikan dalam program perhutanan sosial. Program perhutanan sosial bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan, dan dinamika sosial budaya. Agroforestri merupakan model pengelolaan lahan yang dianggap paling cocok untuk perhutanan sosial karena memiliki banyak manfaat, di antaranya menyediakan alternatif penghasilan berkelanjutan karena agroforestri dapat mengurangi tekanan pada hutan konservasi dari aktivitas penebangan liar dan perambahan lahan. Selain itu, Agroforestri dapat meningkatkan keterikatan petani dengan kawasan hutan. Juga dapat membantu konservasi tanah dan air, karena pepohonan dalam agroforestri dapat berfungsi sebagai penahan angin dan hujan sehingga mengurangi risiko erosi tanah dan menjaga kualitas air. Agroforestri juga dapat menyediakan habitat bagi berbagai spesies sehingga turut membantu melestarikan keanekaragaman hayati. Agroforestri juga dapat memberikan pendapatan dan kesempatan kerja bagi petani dan masyarakat, sehingga bisa membantu pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat.
Dalam materinya dengan judul Pengelolaan Perhutanan Sosial Untuk Kesejahteraan Masyarakat, Catur Endah Prasetiani mengatakan, Perhutanan Sosial merupakan salah satu program nasional, dilaksanakan untuk mengatasi ketimpangan akan akses lahan, ketimpangan akan kesempatan berusaha dengan akses modal dan akses pasar, dan juga ketimpangan akan kapasitas petani hutan. Target program Perhutanan Sosial itu 12,7 hektar, dari mulai ditetapkan sebagai salah satu program nasional sejak tahun 2015 sampai dengan saat ini secara nasional sudah mencapai 7,5 hektar.
Catur menegaskan, landasan hukum Perhutanan Sosial sudah sangat lengkap, mulai dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khususnya di Pasal 29 a dan 29 b, kemudian juga sudah tercantum PP nomor 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perhutanan Sosial, khususnya di Bab IV. Untuk kekhususan lagi, sudah ada Permen LHK Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, dan terakhir adalah dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2023 tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial, yang menjadi acuan bagi kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk melakukan koordinasi, sinergi, sinkronisasi, dan harmonisasi program, kegiatan dan anggaran dalam melaksanakan Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial dengan melibatkan pihak terkait. “Sesuai Pasal 99 Permen LHK Nomor 9 tahun 2021, Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diberikan perpanjangan untuk jangka waktu 35 tahun sesuai hasil evaluasi kepatuhan pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial,” terangnya.
Selain berdampak pada ekonomi masyarakat, Perhutanan Sosial juga berdampak sosial pada kesejahteraan masyarakat karena masyarakat makin kompak, perhutanan sosial membuka lapangan kerja usaha/kerja bagi masyarakat sekitar termasuk di luar anggota kelompok usaha, serta perhutanan sosial dapat menekan kasus illegal logging dan dampak kebakaran hutan. Dalam program Perhutanan Sosial, Catur Endah mengungkapkan 10 komoditas terbanyak yang dikelola masyarakat dalam program Perhutanan Sosial yaitu Kopi, Madu, Aren, Kayu Putih, Tanaman Pangan, Ekowisata, Rotan dan Bambu, Buah-buahan, Kayu dan Gaharu. Sementara itu, produk yang dihasilkan oleh Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di wilayah Papua Barat Daya yakni Madu Hutan yang dihasilkan Kelompok Tani Makbon dari areal Hutan Rakyat yang berlokasi di desa Batu Lubang Distrik Makbon Kabupaten Sorong. Juga ada produk Madu Klanceng yang dihasilkan Kelompok Tani Klayili dari Hutan Rakyat Klayili Distrik Klayili Kabupaten Sorong. Hasil lainnya yang diproduksi oleh Kelompok Tani Klayili yakni Daun Teh Gaharu. Sedangkan Kelompok Tani Maudus yang mengelola Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Rakyat yang berlokasi di Kampung Luwelala Distrik Maudus Kabupaten Sorong, produk Noken dan Minyak Lawang Maudus. (ian)