Oleh: Boban Abdurazzaq Sanggei, Mahasiswa Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
PERTAMA kali muncul pada abad ke-5 SM dan di terapkan pertama kali pada pemerintahan Athena, secara harafiah demokrasi berarti ‘kekuasaan rakyat’, berbeda dengan Aristokrasi, yang berarti ‘kekuasaan elit’. Hal ini merefleksi masalah yang sudah ada sejak lama yakni bagaimana mengatur diri kita sendiri secara efektif dan mencegah pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan menyalahgunakannya. Hari ini setiap negara di Asia tenggara mengklaim bahwa pemerintah bertindak atas nama dan demi kepentingan rakyat. Semuanya mengklaim sebagai negara demokrasi. Namun apakah kita sebagai masyarakat Asia tenggara merasa bahwa pemerintahan kita benar-benar merepresentasikan rakyatnya dan apakah suara rakyat didengar atau diperhitungkan oleh pemerintah?
Perjuangan kemerdekaan negara-negara Asia tenggara dimulai pada pengepungan kota manila yang menjadi pusat pemerintahan kolonial Spanyol oleh Emilio Aguilnado dengan pasukan revolusioner menyatakan kemerdekaannya pada 12 Juni 1898. Kemudian 47 tahun setelahnya Soekarno dan Hatta mengumandangkan proklamasi pada 17 Agustus 1945 dan menghentikan penjajahan Belanda di Indonesia begitupun dengan negara-negara lainnya kecuali Thailand yang menjadi satu-satunya negara yang tidak pernah dijajah. Negara-negara di kawasan Asia tenggara mayoritas merdeka pada pasca perang dunia 2 dan di masa perang dingin, masa-masa inilah demokrasi mulai dibangun.
Perjalanan Demokrasi di negara-negara Asia tenggara tentu mengalami pasang surut dalam prosesnya, namun jika kita berkaca dalam 1 dekade belakangan ini demokrasi di Asia tenggara dapat dinilai menurun secara signifikan, hal ini dapat kita lihat dari beberapa kebijakan dan dinamika yang mengarah pada tunas-tunas baru otoritarianisme di benua Asia tenggara. Hal ini tidak terlepas dari perubahan pola hidup masyarakat yang semakin pragmatis dalam menjalani kehidupan bernegara, maka pada tulisan ini penulis ingin membuka mata para pembaca tentang kemunduran demokrasi di negara-negara kawasan Asia tenggara.
Terwujudnya demokrasi bukan hanya di ukur dari terselenggaranya pemilu dan banyaknya media massa atau pers yang tidak terikat dengan penguasa, namun demokrasi adalah proses berkembangnya masyarakat mulai dari kualitas individu hingga kehidupan sosial masyarakat yang berkeadilan dan setara tanpa adanya kesenjangan antar individu lainnya. Memang terdengar sulit namun begitulah tuntutan demokrasi di mana rakyat yang mengontrol pemerintahan dan pemerintah menjadi pembantu rakyat bukan sebaliknya. Demokrasi ada untuk mewujudkan kedaulatan rakyat sehingga idealnya dalam negara yang menganut sistem demokrasi, seluruh masyarakatnya di haruskan untuk memiliki kualitas SDM yang sangat baik, dan yang harus diutamakan adalah pendidikan yang tinggi pada setiap individu masyarakat, merdeka dari ketergantungan hidup dengan pihak lain dan paham bahwa kebebasan berbicara dijamin oleh negara.
Jika melihat dari negara-negara Asia tenggara hari ini masih jauh dari ketiga indikator di atas, pemerintahan di beberapa negara yang menganut sistem presidensial maupun perlementer dalam praktiknya tidak mengamalkan nilai-nilai demokrasi. Sebaliknya, negara-negara ini justru lebih mementingkan para elite politik, bisnis dan segelintir orang yang memiliki pengaruh di masyarakat atau dalam kata lain merawat Oligarki. Lalu mengapa penulis memberi patokan jalannya demokrasi pada sistem presidensial dan parlementer? Karena kedua sistem ini yang memperbolehkan masyarakat masuk dalam pemerintahan sehingga ada yang namanya dialog antar lembaga dalam pembentukan suatu kebijakan atau Undang-undang.
Kemunduran demokrasi pada dekade ini terlihat jelas ketika kudeta yang dilakukan oleh militer terhadap pemerintahan Myanmar pada 1 Februari 2021 lalu, kudeta ini membuat sejarah baru di mana pada era globalisasi ini konsep demokrasi masih di abaikan, penyebab kudeta militer dari tahun 1962,1988 dan 2021 adalah Militer ingin mempertahankan eksistensi dan pengaruhnya. tentu persoalan ini menjadi polemik karena tidak ada satu pun negara maupun International goverment organization (IGO) yang dapat mengintervensi tindakan tersebut. Pihak militer Myanmar menyatakan bahwa kudeta ini dilakukan sebagai bentuk respon terhadap kecurangan pada pemilihan umum 2020. Pemimpin kudeta jendral Min Aung Hlaing dalam orasinya menyatakan akan ada pemilu baru yang lebih demokratis (Yasa. 2022). Bisa disimpulkan militer tidak sepakat dengan hasil pemilu dan terus menunding adanya kecurangan, padahal idealnya konsep demokrasi militer tidak dapat melakukan gerakan tanpa adanya kendali dari tangan pemerintah yang dipilih secara demokratis, bukan dalam kendali langsung militer itu sendiri.
Dan sejarah Myanmar agak berbeda biarpun Myanmar sudah mengalami trannsisi menuju pemerintahan yang lebih demokratis pada 2010-an, kekuatan militer tetap memiliki pengaruh yang besar apalagi dalam konstitusi tahun 2008 memberikan kekuasan yang signifikan kepada militer, termasuk penunjukan anggota militer dalam parlemen dan kendali atas kementrian pertahanan dan dalam negeri (Htun, mala. 2020). Padahal sejak merdekanya Myanmar dari Inggris pada tahun 1948, Myanmar menerapkan sistem pemerintahan demokratis dengan konstitusi yang menggambarkan rinsip-prinsip demokrasi. Konstitusi yang dibuat pada saat itu memberikan hak-hak dan kebebasan dasar kepada warga negara, termasuk hak memilih dan dipilih, kebebasan berbicara dan kebebasan beragama.
Kemunduran demokrasi Di negara lain juga terjadi yakni pada Tahun 2022. Bongbong Marcos terpilih menjadi presiden Filipina, Bongbong Marcos merupakan anak dari Ferdinand Marcos satu-satunya presiden yang paling dibenci oleh rakyatnya karena kediktatoran dan presiden paling korup di Filipina. Dan hampir 30 tahun lebih rakyat Filipina mencaci Ferdinand dan keluarga, namun kebencian itu mulai memudar ketika Bongbong Marcos mengikuti pemilihan dan menang telak berkat strategi kekinian. Menang melalui framing di media sosial. Lalu apa yang salah dengan hal ini? Tentu tidak ada yang salah, semua tokoh politik di negara demokrasi boleh mengikuti pemilu namun yang menjadi persoalannya adalah proses dan gaya kampanye yang dilakukan yang tidak mengangkat derajat demokrasi. Mungkin penulis akan menyatukan dua studi kasus negara yang sangat mirip yakni Filipina dan Indonesia yang secara proses untuk mendapat kekuasaan sangat persis.
Kemenangan Bong-bong tidak bisa hanya dilihat dari semasa kampanye tahun 2022. Kampanye di media sosial secara masif, terstruktur dan sistematis serta penghindaran mengikuti debat-debat publik memang merupakan pakem baru dalam kampanye presiden Bongbong marcos di Filipina. Kemenangan spektakuler Bngbong Marcos, bukanlah terjadi dalam semalam. Kenyataannya, dinasti Marcos telah melakukan perencanaan atas serangkaian operasi politik selama tiga dasawarsa sebagai upaya untuk kembali ke jantung pentas politik nasional Filipina. Tentunya kemenangan tersebut menjadi kesempatan bagi Bongbong untuk membersihkan nama keluarganya.
Jika membaca kita mengamati kejadian di Filipina tentu kita seakan berkaca dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia, bagaimana tidak sosok Bongbong Marcos sama seperti Prabowo Subianto. Namun perbedaannya adalah prabowo tidak memerlukan 36 tahun untuk merencanakan operasi politiknya. Seperti yang sudah banyak bersebaran di media massa dan terdokumentasikan dalam film maupun video-video di media sosial, tahun 2020 presiden Jokowi mengumumkan struktur kabinet yang pada saat itu mengagetkan masyarakat Indonesia yang di sebabkan oleh adanya nama Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Masuknya Prabowo Subianto dalam kabinet seakan membuat manuver politik baru yang nantinya akan berdampak pada pemilu 2024, tentu seperti yang diduga Prabowo dicalonkan selayaknya anak Petahana bukan lagi oposisi.
Kemenangan Prabowo Subianto di Pemilu ini tentu berkat strategi yang dilakukan mulai dari kampanye media sosial secara masif, terstruktur dan menguasai algoritma serta banyaknya bantuan dari pemerintah yang secara eksplisit terlihat namun ragu untuk mengakuinya. Jika kita bergeser ke Filipina kediktatoran Marcos senior(ayah Bongbong) iya memproyeksikan masa kediktatoran tersebut sebagai zaman keemasan di mana pembangunan infrastruktur, industrialisasi dan maraknya investasi asing menjadi komoditas jualan semasa kampanye namun dilain sisi pada zaman itu juga pelanggaran HAM, skandal korupsi dan penguasaan sumber daya alam oleh kapitalis sangat mendominasi. Maka tidak heran jika Bong-bong Marcos lebih memilih menggunakan medsos secara masif untuk kampanye karena medsos tidak mengenal aturan publikasi yang mensyaratkan kebenaran fakta dan validasi sesuai kaidah jurnalistik. Jadi tidaklah heran jika Bongbong tidak pernah mau hadir dalam forum dialog atau debat karena dia tidak sanggup memberikan jawaban yang meyakinkan atas pertanyaan-pertanyaan terkait kekejaman dan keserakahan marcos senior selama memimpin.
Begitupun dengan Prabowo yang juga sama menggunakan strategi kampanye medsos yang sangat masif dan beberapa kali tidak menghadiri dan membuat forum dialog dengan akademisi maupun pers, hal ini yang membuka mata penulis bahwasannya ada kesamaan pola anatara pemilu 2022 Filipina dan pemilu 2024 Indonesia. Tentunya bukan hanya faktor ini yang menyebabkan demokrasi Indonesia ini mundur, yakni perubahan konstitusi atau syarat pencalonan presiden yang diganti oleh MK yang kurang beretika sehingga majelis kehormatan mahkamah konstitusi (MKMK) memberikan pelanggaran etika kepada ketua MK yang telah mengesahkan syarat tersebut, namun anehnya syarat tersebut tidak gugur karena hukum akan tetapi tetap dipakai pada tahun ini dan akan berubah pada pemilu berikutnya, aneh bukan.
Pada akhirnya kita melihat nyawa demokrasi asia tenggara sedang berada di titik penghabisan, kita sekarang hidup bukan di era demokrasi namun pada otoritarian yang sudah mengakar di kawasan ini. Kata demokrasi hanya sebagai label bagi negara-negara di asia tenggara untuk bersosialisasi atau bergaul dengan negara barat, konsep demokrasi yang sesungguhnya akan hilang seiring berjalannya normalisasi terhadap strategi politik kejam dan membodohkan. Alamiahnya manusia memang seperti itu, kata Thomas Hobbes “Manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus), mausia dalam pemenuhan kepentingannya akan selalu berkonflik satu sama lain” sehingga tidak heran jika konsep demokrasi hanya akan dilekatkan sebagai label pada negara yang di dalam tubuhnya digerakan oleh Otoritarian. (**)