Oleh: Tutus Riyanti
(The Voice Of Muslimah Papua Barat Daya)
Hujan deras kembali mengguyur Kota Sorong, Papua Barat Daya sejak Kamis (7/3/2024) malam hingga Jumat (8/3/2024) pagi. Akibatnya, beberapa lokasi di Kota Sorong kembali terendam banjir. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Sorong Herlin Sasabone, kepada detikcom, Kamis (8/3/2024) menyebut banjir merendam 8 kelurahan yang memang daerahnya rendah dan cekungan.
Banjir terparah ada di sepanjang jalan depan PLTD Kota Sorong, Kawasan Jupiter Kilometer 10 di Jalan Kamundan, Jalan Sungai Mamberamo, Jalan Kalagison, Kampung Bugis, dan Jalan Sapta Taruna depan Lapas Kelas IIB Sorong. Bahkan di sepanjang jalan masuk ke Kampung Bugis itu terendam banjir setinggi dada orang dewasa. Sejumlah rumah warga juga terendam banjir.
Banjir yang melanda di Kota Sorong tidak hanya sekali ini terjadi. Permasalahan banjir tak kunjung usai dari tahun ke tahun. Lantas, apa yang menyebabkan bencana banjir ini selalu berulang dari tahun ke tahun?
Penyebab Banjir
Hingga hari ini, masalah banjir memang masih menjadi PR besar, tidak hanya bagi pemerintah daerah, tetapi juga pemerintah pusat. Nyaris tiap memasuki musim hujan, banjir dan longsor selalu mengancam berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan analisis pemerintah, penyebabnya pun sangat klise. Dari mulai curah hujan yang tinggi, air laut naik, atau problem iklim yang tidak bersahabat.
Penyebab banjir bisa bermacam-macam. Levelnya juga berbeda-beda, tergantung fakta banjirnya seperti apa. Seandainya banjir cuma terjadi sekali saja, maka itu adalah masalah insidental. Tapi banjir yang terjadi di Sorong bukan masalah insidental. Banjir selalu terjadi jika turun hujan deras, berulang, dan semakin lama semakin parah. Itu juga bukan persoalan teknis semata, melainkan sudah sistemik.
Masalah sistemik ini terbagi dua kemungkinan lagi, yaitu teknis atau non-teknis. Seandainya banjir itu bisa diselesaikan semata-mata dengan mengeruk sungai, membuat kanal baru, tanggul baru, pemompaan air baru dan sejenisnya, maka itu berarti masalahnya sistemik-teknis. Tapi ternyata masalahnya bukan itu. Karena solusi-solusi teknis seperti itu juga sulit diterapkan dalam kondisi Sorong seperti sekarang.
Masalah banjir di Sorong adalah masalah sistemik-non teknis, dengan kata lain persoalan ideologis. Bukan hanya soal teknis, tapi juga terkait dengan ideologi tertentu. Sehingga, usaha mengatasi banjir secara teknis semata tidaklah mencukupi, karena masalahnya ada pada ideologi yang diterapkan negara ini, yakni kapitalisme.
Dalam kapitalisme, para oligarki bebas membangun usaha perkebunan, pertambangan, gedung, perumahan, industri, dll. Tujuan perusahaan hanya profit-oriented. Untuk bisa menghasilkan profit sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya, para kapitalis mengabaikan satu fundamental alam, yakni keberlanjutan lingkungan. Pembukaan lahan dilakukan tanpa memerhatikan AMDAL, melainkan melalui deal-deal di belakang layar. Tata kota yang dihasilkan pun akhirnya menjadi tidak rasional dan berantakan.
Hal tersebut menyebabkan rendahnya persentase Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan daerah resapan air. Sedikitnya RTH berarti mengurangi debit air yang bisa diserap oleh tanah, sehingga air hujan terkumpul di atas permukaan tanah, berakibat pada terjadinya banjir. Belum lagi ditambah adanya warga yang tinggal di daerah bantaran sungai. Lahan yang sebenarnya bisa untuk RTH jadi terisi oleh perumahan warga.
Kepadatan penduduk juga berpengaruh dengan jumlah sampah yang dihasilkan. Kultur konsumerisme dan produksi barang sekali-pakai-buang ala industri kapitalis, membuat volume sampah yang dihasilkan membengkak.
Ditambah kultur kebersihan individu yang buruk dan penanganan sampah yang cenderung sembarangan. Sampah yang dibuang sembarangan sebagian besar dalam bentuk olahan hidrokarbon, yakni plastik. Sampah-sampah itu sulit terurai dan menumpuk di saluran-saluran drainase dan sungai, memblok aliran air. Maka wajarlah kalau sungai-sungai selalu meluap ketika musim hujan.
Singkatnya, masalah banjir di Sorong terkategori sistemik-ideologis. Maka tidak cukup hanya menyelesaikannya dengan masalah teknis saja. Tapi harus menyelesaikannya secara sistemik-ideologis.
Solusi Islam untuk Banjir
Dalam Islam, memerintahkan manusia untuk menjaga dan mengelola alam dengan sebaik-baiknya. Bahkan Islam menjadikan penjagaan dan pengelolaan alam ini sebagai salah satu tujuan penciptaan.
Sebagai individu, Islam mengajarkan hukum syarak soal adab kepada alam dan lingkungan. Seorang muslim tidak boleh merusak dan mencemari alam, salah satunya dengan membuang sampah sembarangan. Begitu pun masyarakat, diberi peran penting dengan kewajiban menjaga tradisi saling mengingatkan, jika ada orang yang berani merusak alam. Sementara kepada penguasa atau negara, Islam memberi porsi besar dalam penjagaan alam semesta.
Dalam sistem ekonominya, Islam pun jelas mengatur soal kepemilikan yang boleh dimiliki individu dan yang merupakan milik umum. Oleh karena itu, Islam tidak akan membiarkan para kapitalis dan penguasa rakus merusak lahan-lahan milik umum demi keuntungan sesaat, dan merugikan rakyat.
Dalam masalah banjir, Islam mempunyai mekanisme canggih dan efisien dalam menanganinya, sebagai berikut :
Pertama, sebelum banjir terjadi, negara harus membuat antisipasi banjir akibat kurangnya serapan tanah ketika hujan turun dengan deras. Salah satunya bisa dengan membangun bendungan. Bendungan ini bisa berfungsi sebagai penampungan air saat hujan, dan menjadi sumber air pada saat musim kemarau.
Negara harus memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air akibat hujan. Selanjutnya, membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut. Atau jika ada pendanaan yang cukup, negara harus membangun kanal-kanal baru atau tanah resapan, agar air mengalir di daerah tersebut. Sehingga bisa dialihkan alirannya, atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal.
Secara berkala, negara mengeruk lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air agar tidak terjadi pendangkalan. Tidak hanya itu saja, negara juga harus melakukan penjagaan yang sangat ketat bagi kebersihan sungai, danau, dan kanal, dengan cara memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengotori atau mencemari sungai, kanal, atau danau.
Negara juga harus membuat kebijakan bahwa saat pembukaan pemukiman atau kawasan baru, harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya. Dengan kebijakan ini, negara mampu mencegah kemungkinan terjadinya banjir atau genangan.
Negara pun harus mengeluarkan syarat-syarat tentang izin pembangunan bangunan. Jika seseorang hendak membangun sebuah bangunan, baik rumah, toko, gedung, dan sebagainya, maka ia harus memperhatikan syarat-syarat tersebut. Hanya saja, negara tidak boleh menyulitkan rakyat yang hendak membangun sebuah bangunan. Bahkan, negara harus menyederhanakan birokrasi dan menggratiskan surat izin pendirian bangunan bagi siapa saja yang hendak membangun bangunan.
Jika pendirian bangunan di lahan pribadi atau lahan umum untuk umat yang bisa mengantarkan bahaya, maka negara tidak boleh menerbitkan izin pendirian bangunan. Ketetapan ini merupakan implementasi kaedah ushul fikih al-dlararu yuzaalu (bahaya itu harus dihilangkan). Bahkan, akan memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggar kebijakan tersebut, tanpa pandang bulu.
Kedua, pada saat terjadi banjir, negara harus membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana.
Selain dilengkapi dengan peralatan canggih, petugas-petugas lapangan juga dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup tentang SAR (search and rescue), serta keterampilan yang dibutuhkan untuk penanganan korban bencana alam. Mereka diharuskan siap sedia setiap saat dan dibiasakan untuk bergerak cepat ketika ada bencana atau musibah.
Ketiga, dalam menangani korban-korban bencana banjir, negara harus mengevakuasi penduduk di daerah itu dan dipindahkan ke daerah lain dengan memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada mereka. Negara harus segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Negara harus menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak terkena penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai.
Selain itu, negara akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka. Sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah SWT.
Inilah kebijakan Sistem Islam mengatasi banjir. Kebijakan tersebut tidak saja didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional, tetapi juga disangga oleh nas-nas syariat. Dengan kebijakan ini, maka masalah banjir bisa ditangani dengan tuntas.(***)