SORONG – Tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemalsuan dokumen sertifikat tanah oleh penyidik Polresta Sorong Kota, yakni JW, YS dan EB, melalui tim kuasa hukumnya, melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka ke Pengadilan Negeri Sorong. Permintaan pemeriksaan praperadilan diajukan Markus Souissa,SH, Frans Daniel Wattimena,SH, Aprilia Souissa,SH dan Michael Remizaldu Jacobus,SH,MH, selaku kuasa hukum tersangka. Permintaan praperadilan sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri Sorong pada Rabu (7/2), dan telah terdaftar dalam registrasi perkara No.1/Pid/Pra/2024/PN.Sor.
Michael Remizaldy Jacobus,SH,MH selaku anggota tim lawyer JW, YS dan EB, dalam konfrensi pers di Fave Hotel, Rabu (7/2) mengatakan, perlawanan hukum yang ditempuh pihaknya pasca ditetapkan sebagai tersangka yakni mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Sorong.
Diungkapkannya, beberapa kejanggalan yang pihaknya lihat dari kasus kliennya ini, yakni sampai hari ini tidak ada objek pasti yang bisa dipublis oleh Polresta Sorong Kota terkait dokumen palsu yang menjerat kliennya. “Coba teman-teman lihat, Kapolresta bilang pemalsuan sertifikat, tapi pernyataan lawyernya pelapor bilang Surat Pelapasan Hak. Klien kami juga itu bicara tentang pelepasan hak, jadi sebenarnya surat palsu apa yang dipersoalkan dalam kasus ini,” ucapnya.
Kalau berbicara akta otentik sertifikat lanjut Michael Jacobus, sertifikat tanah dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. “Jadi pertanyaan, alat bukti apa yang mengkonfirmasi bahwa sertifikat itu palsu. Teregistrasi, sertifikatnya asli. Kalau memang ada persoalan secara prosedur terbitnya sertifikat, itu bukan ranah pidana tapi administrasi, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara kalau memang ada kekeliruan prosedur dalam penerbitan sertifikat tersebut,” tegasnya. “Kalau pihak kepolisian katakan akta otentik dalam perkara ini dokumennya sertifikat, sertifikat mana yang palsu, ya kan. Itu yang mau kita pertanyakan di proses praperadilan penetapan tersangka terhadap klien kami,” sambungnya.
Jika penyidik menyangkakan yang palsu itu dokumen Surat Pelepasan Hak dan menuduh klien kami yang memalsukannya, Michael mengatakan JW usianya sudah 60-an, computer sama printer saja tidak paham, bagaimana bisa menuduh dia yang buat. “Kemudian, logikanya membuat surat belum berarti membuat surat palsu. Maksudnya apa? Contoh tukang rental print, itu kan membuat surat, sepanjang tidak ditandatangani oleh pihak yang berkedudukan hukum untuk itu, surat itu kan kosong, tidak ada akibat hukum. Nah sekarang apakah klien saya mempunyai otoritas untuk membuat surat ini memiliki legal standing, dampak hukum, itu yang kita mau uji dalam praperadilan,” tandasnya.
Berbicara mengenai surat palsu, Michael mengatakan sekarang pertanyaannya siapa yang memberikan persetujuan terhadap isi suratnya. “Kalau yang memberikan persetujuan pak Salmon, dia kan bukan orang buta huruf, dia bisa baca isi suratnya apa, kalau isinya palsu ya dia bisa tolak tidak tandatangani, ya kan. Kalau misalnya dibantu rental bikin suratnya, dia kan punya kewenangan untuk menolak, oo ini nggak benar ini, ya kan. Dia kan orang tidak buta huruf, atau orang bodoh, dia sekolah S-2. Dia sebagai pemilik hak, melepaskan hak dengan menandatangani disitu, berarti ketika dia menandatangani, dia membenarkan isi suratnya itu, terlepas dari tukang rental atau siapa yang membantu membuat surat pelepasan itu, tetapi isinya dikonfirmasi kebenarannya dengan tandatangan, ya kan,” tukasnya.
Contoh saja lanjut Michael, presiden menandatangani surat, apakah presiden yang mengetik dan membuat surat itu, kan tidak. “Karena itu, dipahami dulu mana yang membuat surat dan mana yang membuat surat palsu. Kalau dibilang itu palsu, mengapa dibenarkan oleh pak Salmon, dibenarkan oleh Lembaga Adat, dibenarkan oleh pemerintah kelurahan,” ucapnya.
Terkait dengan pelapor yang juga punya surat pelepasan hak tahun 2013, dan itu dibenarkan juga oleh lembaga-lembaga adat dan pemerintah, Michael menyatakan bahwa kalau lembaganya membenarkan dua-duanya, apakah itu termasuk pidana, kan bukan, harusnya disengketakan secara perdata, diuji, mana yang betul-betul sah sah secara hukum, historical kepemilikan dan lain-lain, itu diuji secara perdata, bukan lewat jalur pidana.
“Ketika kita pun sudah mengajukan gugatan perdata, harusnya berdasarkan pasal 81 KUHPidana, laporan pidana perkaranya ditangguhkan, tunggu siapa yang memiliki legal standing, pelapor memiliki legal standing atau tidak. Legal standing sementara kita uji di gugatan perdata, kok dipaksakan dinaikkan penyidikan,” tegas Michael Jacobus. (ian)