Oleh: Tutus Riyanti
(The Voice of Muslimah Papua Barat Daya)
Hari Ibu di Indonesia diperingati setiap tanggal 22 Desember. Tahun ini peringatan jatuh pada hari Jumat (22/12/2023). Dikutip dari Panduan Peringatan Hari Ibu ke-95 tahun 2023, KemenPPA mengusung tema utama “Perempuan Berdaya, Indonesia Maju”.
Hari Ibu di Indonesia, bertujuan mendorong semua pemangku kepentingan dan masyarakat untuk memberikan perhatian dan pengakuan pentingnya eksistensi perempuan dalam berbagai pembangunan.
Hari Ibu di Indonesia, diklaim bisa menjadi momentum mengingatkan seluruh masyarakat bahwa perempuan merupakan motor penggerak keberhasilan pembangunan saat ini dan mendatang. Peringatan ini juga menjadi ungkapan rasa terima kasih atas jasa ibu yang istimewa. Benarkah demikian?
Pembajakan Peran Ibu Akibat Kapitalisme
Dalam pandangan pegiat gender, permasalahan pada perempuan berpangkal dari budaya patriarki, yaitu budaya yang menganggap derajat laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki diposisikan sebagai makhluk yang kuat dan perempuan lemah. Perempuan didiskriminasi. Oleh sebab itu, satu-satunya solusi mereka atas keterpurukan perempuan adalah mengubah budaya patriarki dengan mengampanyekan kesetaraan gender.
Padahal, penyebab diskriminasi pada perempuan adalah sistem kehidupan kapitalisme yang menjadikan materi adalah segala-galanya. Dan manusia yang bermanfaat adalah manusia yang menghasilkan materi. Baik itu laki-laki atau perempuan. Walhasil, perempuan dianggap “berdaya” jika mampu menghasilkan materi.
Tak heran jika perempuan mulai berbondong-bondong keluar rumah untuk bekerja. Bahkan sampai melalaikan keluarga karena kesibukan bekerja. Di dunia kerja pun banyak problem dihadapi perempuan, salah satunya adalah kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja.
Terlebih ide kebebasan bertingkah laku dalam sistem kehidupan kapitalisme, menyebabkan perempuan bebas melakukan apa pun yang mereka inginkan. Mereka bebas berpakaian apa pun, tidak peduli auratnya tampak atau tidak. Banyak juga perempuan yang berlomba-lomba terjun ke dunia politik, tujuannya agar mereka juga bisa “berdaya”. Perempuan bebas melakukan apa pun tanpa merasa terbebani dengan moral, akibat minimnya pemahaman agama.
Bahkan, banyak para istri dan para ibu yang merasa tidak mau lagi bergantung pada suaminya. Mereka ingin mandiri, terutama secara finansial. Para suami riskan tidak dihormati lagi, karena istri menganggap posisi mereka setara dengan suaminya.
Jika ibu bekerja, anak-anak cenderung tidak diperhatikan dan kehilangan kasih sayang. Bahayanya, anak-anak bisa terpengaruh pergaulan bebas seperti: seks bebas, narkoba, mabuk-mabukan, bahkan bisa melakukan tindakan kriminalitas. Ini semua karena anak-anak frustasi, haus mencari pengakuan, perhatian, dan kasih sayang yang tidak mereka dapatkan didalam rumah.
Perempuan memang pilar kemajuan dan kejayaan bangsa. Akan tetapi, dengan berbondong-bondongnya perempuan terjun ke ranah publik dan meninggalkan peran utama mereka sebagai ibu pendidik generasi, justru yang akan didapatkan bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran. Artinya, bukan memperkuat bangsa, tetapi justru melemahkannya.
Perempuan Berdaya dalam Islam
Pegiat gender menganggap bahwa budaya patriarki lahir dari dogma agama. Mereka menuduh syariat Islam sebagai agama yang mengajarkan patriarki. Tentu ini anggapan keliru. Syariat Islam justru menjelaskan bahwa derajat laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah SWT.
“Dan barang siapa mengerjakan amal saleh, baik lelaki atau perempuan, sedang dia beriman, mereka akan masuk surga dan mereka pula tidak akan dianiayai (atau dikurangkan balasannya) sedikit pun.” (QS An-Nisa:124).
Perempuan berdaya dalam perspektif Islam adalah ketika perempuan mampu menjalankan semua kewajiban yang Allah tetapkan baginya. Sistem kehidupan Islam memosisikan kewajiban utama seorang muslimah adalah ummun wa rabbatul bayt (ibu dan pengatur didalam rumah suaminya), sebagai ummu ajyal (pendidik generasi), maupun peran lainnya di ranah publik.
Islam menjamin rasa aman bagi perempuan. Islam juga memuliakan dan menghormati perempuan. Perempuan tidak wajib bekerja, namun dibolehkan bekerja. Itu pun tetap diwajibkan untuk menutup aurat secara sempurna, apa pun pekerjaannya. Hanya saja, syariat menetapkan bahwa pekerjaan yang mengundang mudarat harus segera ditinggalkan, sehingga perempuan akan memilih pekerjaan yang aman bagi kehormatan dirinya sebagai muslimah.
Walaupun perempuan bekerja keluar rumah, ia tetap mendapatkan kedudukan tinggi jika melaksanakan semua syariat-Nya, termasuk optimal melaksanakan amanahnya sebagai ibu dan manager rumah tangga. Jika pun keluar untuk bekerja, semata untuk mengabdikan diri pada umat.
Peran strategis dan politis perempuan dipastikan akan berjalan optimal, karena Islam memberikan jaminan finansial, keamanan, pendidikan, dan kesehatan yang memadai; melalui penerapan syariat Islam kaffah, seperti sistem ekonomi dan keuangan Islam, sistem kesehatan Islam, sistem sanksi Islam, dan sebagainya.
Semua ini akan terwujud jika negara menerapkan Sistem Islam Kaffah. Sistem inilah yang akan melahirkan perempuan berdaya, yang mengabdi pada umat dan mendidik generasi berkualitas. Hingga akhirnya bisa mengantarkan generasi yang bermanfaat bagi negara dan kehidupan manusia. (***)