Kelly Kambu : Aspirasi dan Keluh Kesah Masyarakat Asli Papua Harus Diterjemahkan Dalam Bentuk Program dan Kegiatan
SORONG – Kebijakan pemberlakuan Otonomi Khusus di tanah Papua melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 dan Perubahannya di UU Nomor 2 Tahun 2021, tak terasa sudah berjalan hampir 22 tahun. Memperingati HUT Otsus tanggal 21 November, akan digelar kegitan Papua Fest (Festival) yang dipusatkan di Provinsi Papua Barat Daya. “Momentum peringatan Otsus Papua tanggal 21 November besok, kiranya bisa menjadi refleksi untuk kita tidak lagi menoleh ke belakang, tetapi refleksi untuk bagaimana membangun Papua Baru dengan kebijakan Otsus sehingga kita mampu menterjemahkan aspirasi masyarakat dalam program dan kegiatan,” kata Julian Kelly Kambu,ST,MSi yang sehari-harinya menjabat Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya.
Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Banyak pertimbangan yang melatarbelakangi lahirnya UU Otsus pada tahun 2001, dan itu bisa dilihat di bagian menimbang, kurang lebih ada 7 hal yang menjadi pertimbangan lahirnya UU Otsus yang merupakan buah pemikiran yang kemudian dirumuskan dan dilahirkan oleh anak-anak Papua yang kemudian ditawarkan sebagai solusi mengatasi permasalahan di Papua.
“Disini kami tidak melihat bagian pertimbangannya lagi, tetapi lebih pada implementasinya. Khususnya di bidang lingkungan hidup yang kami geluti sehari-hari, mengelola lingkungan hidup juga termasuk salah satu yang diatur dalam UU Otsus Papua yakni di Pasal 63 yang mengatur pembangunan di provinsi Papua dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat dan keadilan, dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah,” tuturnya.
Ditegaskannya, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di tanah Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup, dan kewajiban ini diturunkan ke dalam implementasi kebijakan dengan menyiapkan dokumen-dokumen lingkungan seperti Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
“Yang harus diperjuangkan adalah bagaimana kita memperjuangkan dokumen-dokumen lingkungan, sebagai instrument dalam mengawal pembangunan berkelanjutan. Kita harus punya RPPLH ini dulu. Kalau kita runut, RPPLH itu sebagai payung karena RPPLH ini berlaku selama 30 tahun, kemudian RTRW yang berlaku 20 tahun. Jadi RPPLH ini wajib dimiliki oleh semua wilayah provinsi maupun kabupaten/kota di tanah Papua. RPPLH ini masterplan di bidang lingkungan, perlindungannya seperti apa, pengelolaannya seperti apa, ini harus ada dulu. Namun demikian, muncul pertanyaan sampai hari ini sudah berapa persen daerah di tanah Papua yang sudah memiliki dokumen RPPLH ini,” jelasnya.
Di Provinsi Papua Barat Daya yang belum setahun resmi menjadi daerah otonomi baru, pihaknya lanjut Kelly mengusulkan RPPLH itu di tahun 2023 ini tetapi karena berbagai keterbatasan maka pihaknya akan perjuangkan dan dorong RPPLH ini disahkan pada tahun 2024 mendatang.
“Dengan adanya RPPLH ini maka kita punya masterplan perencanaan di bidang lingkungan, didalamnya kita bisa mengetahui daya dukung dan daya tampung lingkungan. Kita juga bisa mendeteksi pembangunan untuk 30 tahun ke depan. Di dalam pembangunan itu sendiri, selain RPPLH, ada kewajiban bagi pengusaha atau pelaku usaha dan kegiatan pemerintah, wajib melengkapi dokumen lingkungan baik itu Amdal maupun UKL/UPL. Kapan harus Amdal atau kapan cukup UKL/UPL, itu harus dikoordinasikan dengan dinas teknis,” kata Kelly sembari menambahkan, kegiatan itu merujuk pada instansi pemerintah, sementara usaha itu rujukannya ke investor pelaku usaha atau pihak swasta.
“Jadi Amdal ataupun UKL/UPL itu bukan hanya wajib bagi swasta, tapi juga bagi kegiatan-kegiatan pemerintah yang berdampak lingkungan. Instrument untuk mengukur apakah kegiatan atau usaha itu berwawasan lingkungan atau tidak, itu di dokumen lingkungan Amdal atau UKL/UPL. Kalau instansi pemerintah atau swasta melakukan kegiatan pembangunan tanpa dilengkapi dokumen lingkungan, bagaimana kita mengukur daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk skala 30, 20 atau 10 tahun ke depan imbas dari kegiatan pembangunan tersebut,” tandasnya.
Ia mengatakan, komitmen untuk melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sesuai amanat UU Otsus, harus diterapkan dan dikawal bersama. “Kawalnya bagaimana, pertama dari sisi anggaran harusnya dialokasikan juga dana Otsus untuk membiayai program dan kegiatan di bidang lingkungan hidup, mengingat masyarakat asli Papua banyak juga yang berdomisili di wilayah sekitar hutan,” ujarnya.
Dari sisi anggaran lanjut Kelly, selama ini Dinas Lingkungan Hidup tidak mendapat kebijakan anggaran Otsus. Anggaran Otsus selama ini lebih banyak di kebijakan anggaran infrastruktur, pemberdayaan, kesehatan dan pendidikan, padahal di UU Otsus sudah ada pasal 63 pembangunan berkelanjutan dan kewajiban melakukan pengelolaan lingkungan. “Harapan kami, anggaran Otsus ke depannya juga mengakomodir program dan kegiatan yang ada pada Dinas Lingkungan Hidup,” harapnya.
Ditambahkannya, Otsus merupakan solusi untuk menjawab permasalahan di Papua. “Kita jangan lagi menoleh ke belakang, tapi kita harus menatap ke depan. Kebijakan Otsus jangan lagi dipertentangkan, suka atau tidak suka. Dulu tanah Papua ini pernah diterapkan kebijakan Daerah Operasi Militer, mungkin di masa lalu ada kebijakan-kebijakan yang membuat luka di hati, membuat masyarakat menangis, mudah-mudahan dengan Otsus dan hadirnya Provinsi Papua Barat Daya, bisa menghapus sedikit demi sedikit luka dan tangisan masa lalu, untuk kita menatap masa depan yang lebih cerah,” tegasnya.
Karena itu, aspirasi masyarakat asli Papua hrndaknya bisa diterjemahkan kedalam kebijakan anggaran dan program/kegiatan instansi pemerintah, agar program dan kegiatan yang dilaksanakan bisa menyentuh langsung keinginan dan harapan masyarakat. Karena itu, kita dituntut untuk turun menyerap aspirasi, mendengar keluh kesah masyarakat, kemudian kita bawa keluh kesah dan aspirasi masyarakat ini dalam pergumulan sehingga dengan hikmat Tuhan kita bisa menterjemahkan aspirasi dan keluh kesah masyarakat dalam bentuk program dan kegiatan sehingga bisa menjawab keluh kesah masyarakat selama ini,” pungkasnya. (ian)