Prof.Dr. Okid Parama Astirin, M.S : Sesuai Ketentuan Peraturan Perundang-undangan, Konsekuensi Dendanya Maksimal Rp 3 Miliar
SORONG – Reviewer Nasional Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, yang juga Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof.Dr. Okid Parama Astirin,M.S, mengatakan saat memberikan materi dalam Diklat Upgrading Amdal kepada Tim Teknis Amdal Provinsi Papua Barat Daya dan Kabupaten Raja Ampat yang berlangsung selama dua hari, peserta diklat menyampaikan beberapa fakta lapangan. Fakta lapangan tersebut diantaranya banyak sekali kegiatan yang dilakukan di beberapa wilayah terutama di Raja Ampat, kegiatan sudah berjalan tetapi belum memiliki persetujuan lingkungan.
Akibatnya segala proses konsekuensi untuk mengelola dampak, melakukan pemantauan dampak negative kegiatan terhadap lingkungan, tidak ada karena tidak ada dokumen lingkungannya. “Sehingga dari kondisi yang demikian, baik yang ada di Raja Ampat maupun yang ada di provinsi Papua Barat Daya, harus ditata secara menyeluruh. Sebetulnya peraturan pemerintah terkait dengan konsekuensi penataan perizinan persetujuan lingkungan atau persetujuan pemerintah, itu semua sudah diatur di PP 22 Tahun 2021 tntang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan tersebut sudah mengatur semua kegiatan yang dilakukan di wilayah manapun di Indonesia harus memiliki persetujuan lingkungan atau persetujuan pemerintah,” kata Prof Okid Parama Astirin yang ditemui Radar Sorong di Vega Hotel Sorong, Selasa (07/11/2023).
Dikatakannya, persetujuan lingkungan diberikan kepada pelaku usaha, persetuan pemerintah diberikan kepada dinas-dinas, OPD, atau lembaga pemerintah yang memiliki kegiatan yang harus dilandasi dengan persetujuan pemerintah atau persetujuan lingkungan. “Kondisi dimana banyak kegiatan yang sudah dijalankan tetapi belum memiliki persetujuan lingkungan, itu menurut saya harus segera ditindak karena melanggar ketentuan yang tercantum di PP 22 itu. Ada jerat hukum yang ada di pasal 514 dan seterusnya, ketika suatu kegiatan melakukan aktifitas tanpa memiliki persetujuan lingkungan maka ada jerat dendanya setinggi-tingginya 3 miliar rupiah. Harapan saya, segala ketentuan yang ditetapkan pemerintah dalam hal ini dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, itu diterapkan di Papua Barat Daya ini, termasuk yang ada di Kabupaten Raja Ampat,” tegasnya.
Terkait ini, ia mengingatkan kepada Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya serta instansi terkait di tingkat kabupaten/kota di Papua Barat Daya ini, untuk melakukan indentifikasi semua kegiatan yang sudah berjalan dan tidak memiliki persetujuan lingkungan. “Siapa (Pelaku usaha atau instansi pemerintah) saja yang punya kegiatan, disurati kemudian diingatkan dan diberikan konsekuensi apabila tidak memproses dengan segera persetujuan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ada konsekuensi dendanya maksimal 3 miliar,” tuturnya.
Hal yang menjadi PR lainnya lanjut Prof Okid, kegiatan yang sudah memiliki persetujuan lingkungan tetapi tidak melaksanakan pelaporan proses pengelolaan dampak dan pemantauan dampak lingkungan yang dijanjikan di dalam dokumen RKL/RPL, dan yang ada di dalam dokumen UKL/UPL. Pengelolaan dan pemantauan dampak lingkungan kegiatan itu harus sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam dokumen RKL/RPL atau dokumen UKL/UPL. “Kenapa harus sesuai, karena di dalam kedua dokumen itu dilampiri kesanggupan dari pelaku usaha atau pemrakarsa untuk melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan dan juga pelaporannya khususnya kepada DLH (Dinas Lingkungan Hidup). Sesuai aturan, ada konsekuensi hukum ketika suatu kegiatan itu tidak melakukan pemantauan lingkungan sesuai dengan frekuensinya dan melaporkannya kepada DLH, ada jerat hukumnya,” jelasnya.
Sementara pelaku usaha atau pemrakarsa yang sudah melakukan kegiatan pengelolaan dampak lingkungan, per parameter apabila melewati ambang batas baku mutu sesuai ketentuan, maka secara teknis bisa terkena kententuan pelanggaran ringan, pelanggaran sedang, pelanggaran berat, dengan konsekuensi denda sesuai ketentuan. “Jadi sebetulnya DLH ini nampaknya perlu mensegerakan proses pembentukan struktur di provinsi maupun kabupaten/kota, siapa yang bertanggungjawab untuk nagih, siapa yang bertanggungjawab untuk mencermati kegiatan apa yang belum memiliki persetujuan lingkungan. Nanti kalau penataan struktur kelembagaan sudah jelas, nanti kan jelas siapa, ini tanggungjawabnya siapa, siapa yang harus melakukan tugas pemantauan lingkungan dan sebagainya. Jadi harapannya, komitmen dari pelaku usaha usaha di Papua Barat Daya ini bisa ditegakkan. Proses peringatan kepada pelaku usaha itu, disurati, diingatkan dan diinstruksikan, dan surat itu ditembuskan kepada kepala daerah,” tandasnya sembari menambahkan, bila sudah memberikan peringatan-pengingat kepada pelaku usaha bahwa mereka memiliki kewajiban, maka tanggungjawabnya bila terjadi masalah secara hukum bisa gugur. “Tapi kalau tidak melakukan semacam pengingat-pengingat demikian, maka ketika ada pemeriksaan bisa kena secara hukum karena tidak melakukan fungsi control terhadap kegiatan-kegiatan yang ada di wilayahnya,” tukasnya.
Prof Okid Parama Astirin menegaskan, seluruh pelaku usaha baik itu pihak swasta maupun pihak pemerintah, wajib mengurus persetujuan lingkungan sebelum melaksanakan kegiatan di lapangan. Dalam peraturan, tidak ada pengecualian untuk instansi pemerintah, semua sama, baik itu instansi pemerintah maupun pihak swasta yang akan melakukan kegiatan yang berdampak pada lingkungan, harus mendapatkan persetujuan lingkungan terlebih dahulu. “Penegakan aturan yang memang sudah ditetapkan dan berlaku di seluruh Indonesia. Jadi dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Ppaua Barat Daya harus jadi semacam pilot untuk penataan kawasan, penataan ketaatan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jangan malah menjadi semacam permisif atau dalam tanda kutip mengijinkan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah itu berjalan tanpa persetujuan lingkungan,” jelasnya.
Karena itu, Dinas Lingkungan Hidup harus proaktif mengingatkan kepada instansi pemerintah maupun swasta yang melaksanakan kegiatan/usaha yang berdampak pada lingkungan namun sekarang belum memiliki dokumen lingkungan. “Tolong diidentifikasi lah di sisa waktu tahun 2023 ini, nanti mungkin di awal tahun 2024 diumumkan instansi mana atau investor mana yang sudah punya dokumen lingkungan, mana yang sudah punya tapi belum melaporkan progress penanganan rekomendasi lingkungannya, mana yang belum punya dokumen lingkungan, dan sebagainya. Jadi, tidak ada satupun kegiatan yang bisa bebas dari ketentuan untuk melakukan pengelolaan terhadap dampak lingkungan yang timbul dari kegiatannya tersebut,” pungkasnya. (ian)