Kelly : Pengakuan atas Masyarakat Hukum Adat Merupakan Syarat Pendahuluan Untuk Pengurusan Alih Status Hutan Negara Menjadi Hutan Adat
SORONG – Dari enam daerah bawahan pemerintah provinsi Papua Barat, tiga daerah diantaranya sudah mengesahkan Peraturan Daerah pengakuan atas masyarakat hukum adat, yakni Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan, sementara Kota Sorong, Maybrat dan Raja Ampat sejauh ini belum. Karena itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan (LHKP) Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu,ST,MSi mendorong tiga daerah lainnya untuk mengupayakan secepatnya mempunya Perda yang sama.
Kelly mengatakan Negara memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengurus hutan adat. Secara de facto hutan milik masyarakat adat, tetapi secara de jure hutan adat di wilayah Papua Barat Daya sejauh ini belum ada karena penentuan status hutan adat itu berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tahapan untuk melakukan alih status hutan negara menjadi hutan adat itu ada proses verifikasinya secara detail sebelum akhirnya ditetapkan statusnya sebagai hutan adat oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Pengakuan atas Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah syarat pendahuluan yang wajib dipenuhi terlebih dahulu sebelum MHA terkait dapat mengajukan Permohonan Pengakuan atas Hutan Adat mereka. Pengakuan MHA dari pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah atau Penetapan Kepala Daerah sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan.
“Di wilayah Papua Barat Daya, tiga daerah sudah mempunyai Perda Masyarakat Hukum Adat yaitu Tambrauw, Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan, sementara Kota Sorong, Raja Ampat dan Maybrat belum. Bagi yang sudah, kami berharap tidak sampai di Perda saja, tapi dorong dan fasilitasi masyarakat adat untuk pembuatan Peta Wilayah Adatnya, dan kemudian kita bersama-sama berjuang untuk mengeluarkan sebagian kawasan hutan yang statusnya hutan negara menjadi satusnya hutan adat,” ujarnya.
Ditegaskannya, peta wilayah adat ini penting karena berkaitan dengan investasi. Mendatangkan investasi penting untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya di Republik Indonesia ini. “Investasi boleh datang, tapi di sisi lain ada masyarakat adat. Karena itu, investor harus datang dulu kepada masyarakat adat. Kalau dengan investasi itu masyarakat mendapat manfaat dalam bentuk keuntungan maupun ilmu, saya yakin masyarakat terbuka menerima kedatangan investor untuk berinvestasi di wilayah adatnya. Kalau masyarakat setuju, pastinya pemerintah juga akan mendukung, khususnya kami yang ada di Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan. Sepanjang masyarakatnya setuju, aman dan nyaman, maka investasi, bisnis akan berjalan lancar,” tukasnya.
Kelly mencontohkan, investasi di bidang kehutanan dalam hal ini Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang dulunya dikenal dengan sebutan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), sesuai aturan, mendatangi masyarakat itu di bagian-bagian akhir setelah investor dalam hal ini pemohon PBPH mendapatkan Persetujuan Komitmen dari Kementerian Lingkungan Hidup, tetapi dengan kewenangan Otsus, pihaknya menarik proses yang tadinya di bagian akhir ke bagian awal.
“Mereka (Investor,red) harus datangi dulu masyarakat. Kalau masyarakat adat setuju dengan kehadiran investor, baru proses perijinannya di pemerintahan bisa berjalan. Kalau masyarakat tidak mendapat manfaat dari sebuah investasi yang masuk, untuk apa kita mendukung. Jadi dengan masuknya investasi, masyarakat harus mendapatkan dua hal, mendapat untung dan mendapat ilmu atau manfaat dari masuknya investasi tersebut. Hal ini sejalan dengan yang selalu ditegaskan oleh bapak Sekda Papua Barat yang selalu mengingatkan kami, pak Kadis ingat dua hal ini, dan pesan ini selalu saya ingat, bahwa masyarakat harus dapat untung dan dapat ilmu. Demikian juga investasi yang datang, pemerintah provinsi Papua Barat Daya harus mendapat untung dan mendapat ilmu. Jadi kalau masyarakat tidak dapat untung dan tidak dapat manfaat atau ilmu dengan hadirnya investasi di wilayahnya, pasti ribut. Selama investasi itu membuat masyarakat tidak aman dan tidak nyaman, investasi itu pasti akan terganggu, dan itu pasti akan merugikan semua,” terang Kelly.
Oleh karena itu lanjut Kelly, pola pendekatannya kita modifikasi sedikit, yang tadinya dapat dulu Persetujuan Komitmen baru mereka investor datangi dan minta persetujuan masyarakat, kita modifikasi sedikit dengan lebih mengutamakan masyarakat. “Mereka harus datangi masyarakat dulu dan setelah mendapatkan persetujuan dari masyarakat, entah itu dalam bentuk MoU, berita acara, kesepakatan bagi hasil dan sebagainya, itu yang menjadi salah satu dasar pertimbangan kita instansi teknis mengeluarkan Persetujuan Teknis (Pertek) dan Pertek ini menjadi dasar diterbitkannya Rekomendasi Gubernur, dan Rekomendasi Gubernur sebagai syarat untuk keluarnya Persetujuan Komitmen PBPH dan selanjutnya dimasukkan dalam sistim OSS pengurusan PBPH,” ujarnya.
Kelly mengatakan, pihaknya memahami ada trauma masa lalu dimasa HPH yang membuat masyarakat menjerit, karena di masa HPH mengambil kayu satu batang saja dari areal HPH bisa bermasalah padahal itu hutan mereka namun tidak mendapatkan manfaat atau tidak mendapatkan remah-remah dari hadirnya HPH. “Dengan aturan yang baru dalam bentuk PBPH, kita berharap masyarakat adat pemilik ulayat bisa mendapatkan untung dan mendapatkan manfaat dengan hadirnya investasi PBPH sehingga masyarakat bisa sejahtera, hutannya lestari,” jelasnya.
Di kawasan PBPH lanjut Kelly, masyarakat bisa memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) baik itu untuk kebutuhan konsumtif yang dimanfaatkan langsung masyarakat seperti binatang buruan, sagu, umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, obat-obatan, kayu bakar dan sebagainya, maupun secara produktif dengan memasarkan Hasil Hutan Bukan Kayu untuk mendapatkan penghasilan misalnya rotan, dammar, gaharu, madu, minyak atsiri dan sebagainya. Termasuk juga bila di kawasan PBPH tersebut terdapat sumber mata air panas, bisa dikelola masyarakat untuk tujuan ekowisata sehingga bisa menjadi sumber penghasilan.
“Kita punya prinsip, tidak boleh meninggalkan air mata kepada generasi penerus, tetapi kita harus meninggalkan mata air. Karena itu, kami mengajak masyarakat untuk sama-sama menjaga agar hutan yang merupakan anugerah Tuhan ini tetap lestari, dan dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat,” imbuhnya. (ian)