JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengumumkan hasil putusan terkait sistem pemilu. Waketum PAN Viva Yoga Mauladi mengingatkan agar MK menolak gugatan yang ingin mengubah sistem pemilu menjadi coblos gambar partai. “Tentang adanya judicial review dari para pihak atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya tentang sistem pemilu proporsional daftar terbuka agar menjadi sistem pemilu proporsional tertutup, hanya mencoblos lambang partai politik peserta pemilu saja, tanpa bermaksud melakukan intervensi kepada MK, PAN mengingatkan MK agar menolak gugatan tersebut,” ujar Viva kepada wartawan seperti dikutip dari detikcom, Rabu (14/6/2023).
Viva menjelaskan sejumlah alasan PAN meminta agar MK menolak sistem proporsional tertutup. Viva mengatakan alasan pertama ialah sistem coblos partai merusak sistem demokrasi. “Sistem pemilu tertutup yang hanya mencoblos tanda gambar partai politik saja akan merusak sistem demokrasi karena akan melanggar prinsip pemilu yang demokratis, yang ditandai oleh one person, one vote, one value. Suara rakyat adalah suara Tuhan tidak akan terwujud di dalam sistem pemilu tertutup,” jelas Viva.
Alasan kedua, Viva mengatakan MK sebelumnya sempat merubah sistem tertutup menjadi terbuka. Sistem itu diubah, kata Viva, dengan alasan sistem proporsional tertutup menyebabkan terjadinya pelanggaran yang bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. “PAN mengingatkan MK yang pernah mengabulkan gugatan untuk menerapkan sistem pemilu proporsional daftar terbuka karena alasan MK bahwa sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan sistem pemilu tertutup terbatas itu akan menyebabkan terjadinya pelanggaran dan bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi,” terangnya.
Viva mengungkap alasan ketiga ialah KPU, Bawaslu, dan DKPP lebih berpengalaman dengan sistem coblos nama caleg. Viva menilai pengalaman ini dapat membuat penyelenggaraan pemilu lebih baik lagi. “Sudah tiga kali pemilu memakai suara terbanyak rasanya cukup bagi KPU, Bawaslu dan DKPP sekarang untuk lebih tangguh, handal, dan kuat karena memiliki pengalaman empiris agar dapat menyelenggarakan pemilu lebih baik dan berkualitas lagi,” ungkapnya.
Dia juga mengungkapkan sejumlah hal positif bagi pembangunan demokrasi di Indonesia. Hal pertama ialah sistem coblos nama caleg menghindari nepotisme di internal partai politik. “Pertama, menghindari bahaya nepotisme di internal parpol. Secara empiris, siapa yang dekat pimpinan akan mendapatkan nomor urut kecil. Meskipun parpol melakukan rekrutmen secara transparan dan objektif, namun unsur subjektivitas pimpinan selaku policy maker, dalam skala tertentu akan mengalahkan unsur objektivitas,” katanya.
Hal positif kedua ialah sistem suara terbanyak tidak akan menghilangkan kedaulatan parpol yang berwenang mendaftarkan calegnya ke KPU. Selanjutnya, sistem suara terbanyak juga akan mendekatkan caleg terpilih dengan konstituennya. “Konstituen dapat lebih mudah melakukan komunikasi dan menyuarakan aspirasi serta kepentingannya untuk diperjuangkan oleh anggota Dewan menjadi kebijakan negara dan direalisasikan dalam bentuk program-program di masyarakat. Dengan kata lain tentu juga akan semakin mendekatkan parpol dengan rakyat yang diwakilinya di lembaga legislatif melalui caleg terpilih,” jelas Viva. “Hal ini sama sekali tidak mengganggu atau mendegradasi kedaulatan parpol dalam sistem demokrasi sebab caleg terpilih itu dicalonkan oleh parpol. Justru sebaliknya, malah akan semakin memperkuat kehadiran dan eksistensi parpol di tengah-tengah masyarakat,” sambungnya.
Menurutnya, sistem proporsional terbuka lebih adil dibandingkan sistem coblos partai yang lebih besar peluang nepotisme di internal partai. Hal positif lainnya ialah tidak adanya jaminan sistem proporsional tertutup bakal menghilangkan money politics atau politik uang. “Tidak ada jaminan dan ukuran akademis bahwa sistem proporsional daftar tertutup murni (hanya mencoblos tanda gambar partai) akan mengurangi dan atau menghilangkan praktek politik uang dibandingkan sistem proporsional daftar terbuka berdasarkan suara terbanyak,” ungkap dia. “Praktek money politic itu bukan soal apa sistem pemilunya, tetapi karena soal kesulitan ekonomi rakyat, kesadaran politik rakyat dalam memaknai pemilu, pengawasan pelaksanaan pemilu oleh Bawaslu, lembaga pemantau, maupun oleh partisipasi masyarakat, serta penegakan aturan pemilu,” sambungnya.
Viva mengatakan putusan nantinya akan mencerminkan apakah MK masih membuka mata atas realitas yang ada. Selain itu, putusan tersebut juga akan melihat konsistensi MK atas putusan sebelumnya. “Akhirnya, sejarah akan menguji MK. Apakah masih memiliki nurani dan terbuka mata atas realitas yang menolak sistem pemilu tertutup. Apakah MK tetap konsisten dengan putusan MK Nomor 22-23/PUU-VI/2008 atau MK menjadi alat politik kekuasaan, lembaga cap stempel dari ketidakberdayaan para hakim MK atas kepentingan kekuasaan, atau tidak konsisten lagi sebagai penjaga demokrasi Indonesia,” katanya. Untuk diketahui, MK akan mengetok putusan yang paling ditunggu terkait Pemilu 2024. Rencananya putusan itu akan diketok pada Kamis (15/6/2023) besok. “Kamis, 15 Juni 2023, pukul 09.30 WIB. Agenda: Pengucapan putusan,” demikian bunyi jadwal MK yang dilansir website-nya. (rfs/detikcom)