ANKARA – Lebih dari 3.800 orang dilaporkan tewas di berbagai wilayah Turki dan Suriah akibat gempa bumi dengan Magnitudo (M) 7,8 yang mengguncang di dekat perbatasan kedua negara awal pekan ini. Mengapa gempa bumi ini bisa sangat mematikan hingga merenggut banyak korban jiwa?
Seperti dilansir AFP yang dikutip dari detikcom, Selasa (7/2/2023), sejumlah pakar dalam penjelasannya menyebut ada kombinasi beberapa faktor yang menjadikan gempa bumi itu sangat mematikan, mulai dari waktu terjadinya gempa, lokasinya, garis patahan yang relatif tenang, dan lemahnya konstruksi bangunan yang hancur akibat gempa. Jumlah korban tewas diperkirakan masih mungkin bertambah dengan rentetan gempa susulan yang mengguncang kedua negara setelah gempa pertama terjadi.
Gempa bumi pada dasarnya bisa memicu kehancuran parah yang sebagian disebabkan oleh kekuatannya yang besar dan karena gempa mengguncang di area-area padat penduduk. Gempa Magnitudo 7,8 yang mengguncang pada Senin (6/2) dini hari tercatat sebagai yang terkuat di Turki sejak tahun 1939 silam.
Peneliti kehormatan pada Survei Geologi Inggris, Roger Musson, menuturkan kepada AFP bahwa alasan lainnya yang membuat gempa itu sangat mematikan adalah waktu terjadinya gempa pada dini hari, atau sekitar pukul 04.17 waktu setempat, yang berarti kebanyakan orang masih tertidur di rumah masing-masing. Musson menilai situasi itu membuat banyak orang ‘terjebak ketika rumah-rumah mereka ambruk’ akibat gempa.
Dalam analisisnya, Musson yang juga penulis buku ‘The Million Death Quake’ ini menyebut bahwa konstruksi bangunan di lokasi terdampak gempa ‘tidak benar-benar memadai untuk area yang rawan dilanda gempa bumi besar’. Hal itu mungkin disebabkan oleh fakta bahwa garis patahan Bumi di mana gempa mengguncang relatif tenang beberapa waktu terakhir.
Turki diketahui berada di salah satu zona gempa paling aktif di dunia. Gempa bumi yang terjadi di garis patahan Anatolia Utara yang ada di wilayah Duzce, Turki, menewaskan lebih dari 17.000 orang tahun 1999 lalu. Namun gempa kuat pada Senin (6/2) kemarin terjadi di sisi lain Turki, tepatnya di sepanjang patahan Anatolia Timur. Garis patahan Anatolia Timur tidak pernah dilanda gempa bumi berkekuatan Magnitudo 7 selama dua abad terakhir, yang menurut Musson, itu berarti orang-orang di area itu ‘mengabaikan betapa berbahayanya’ patahan tersebut.
Menurut teori Musson, karena sudah begitu lama sejak gempa besar terakhir terjadi, maka ‘cukup banyak energi’ telah terkumpul. Musson menilai kekuatan gempa-gempa susulan sepanjang Senin (6/2) yang tergolong besar, termasuk yang berkekuatan Magnitudo 7,5, telah mendukung teorinya tersebut.
Dalam analisisnya, Musson menyebut gempa bumi berkekuatan Magnitudo 7,8 itu ‘nyaris mengulang gempa dahsyat dengan kekuatan Magnitudo 7,4 yang mengguncang area yang sama pada 13 Agustus 1822 silam. Musson menyebut gempa tahun 1822 itu memicu ‘kerusakan luar biasa besar, seluruh kota hancur dan korban jiwa mencapai puluhan ribu orang’. Bahkan gempa susulan terus terjadi hingga bulan Juni setahun setelahnya.
Pusat gempa pada Senin (6/2) kemarin relatif dangkal, yakni di kedalaman 17,9 kilometer di dekat kota Gaziantep, Turki, yang dihuni 2 juta orang. Menurut Musson, gempa itu disebabkan oleh lempeng tektonik Arab yang bergerak ke arah utara hingga ‘melewati wilayah Turki’. “Karena itu tidak bisa bergerak dengan mulus, itu menempel. Pelepasan gerakan di sepanjang patahan itulah yang menghasilkan gempa bumi besar seperti yang kita alami hari ini,” ucap Musson pada Senin (6/2) waktu setempat.
Musson juga menekankan bahwa pusat gempa besar seperti itu menjadi kurang penting dibandingkan seberapa jauh retakannya meluas di sepanjang garis patahan — dalam kasus ini, mencapai sekitar 100 kilometer. “Itu berarti di area mana saja dalam jarak 100 kilometer di sepanjang tren patahan, secara efektif berada tepat di atas gempa bumi,” jelasnya.
Pakar vulkanologi pada Universitas Portsmouth Inggris, Carmen Solana, menyatakan bahwa karena gempa tidak bisa diprediksi, maka bangunan-bangunan tahan gempa sangat penting di area-area terdampak. “Infrastruktur yang bertahan sayangnya tidak merata di Turki Selatan dan khususnya Suriah, sehingga menyelamatkan nyawa kini sebagian besar bergantung pada upaya penyelamatan korban,” sebutnya. Menindaklanjuti gempa dahsyat tahun 1999, pemerintah Turki mengesahkan legislasi tahun 2004 yang mewajibkan semua bangunan baru memenuhi standar modern tahan gempa. Presiden Recep Tayyip Erdogan menjadikan konstruksi bangunan kuat sebagai prioritas politik usai gempa menewaskan 114 orang tahun 2020.
Kepala Institut Pengurangan Risiko dan Bencana pada University College London, Joanna Faure Walker, menyerukan Turki untuk memeriksa apakah legislasi itu telah dipatuhi dengan benar sehubungan dengan bencana mematikan terbaru ini. Dia juga menyerukan Ankara untuk mengkaji ulang ‘apakah ada kemungkinan meningkatkan keselamatan bangunan-bangunan tua’. Secara terpisah, pakar vulkanologi pada University College London, Bill McGuire, menyatakan bahwa di Suriah, banyak bangunan sudah diperlemah oleh perang yang berlangsung selama lebih dari satu dekade terakhir’. (nvc/ita/detikcom)