Oleh: Tutus Riyanti
(The Voice of Muslimah Papua Barat Daya)
Dilansir dari cnnindonesia.com (22/2/2023), Politikus ekstrem kanan Rasmus Paludan membakar Al-Qur’an di Swedia dan Denmark dalam kurun waktu kurang dari sepekan. Pada 21 Januari, Paludan membakar Al-Qur’an di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm. Enam hari kemudian, pendiri partai Stram Kurs (Garis Keras) itu melakukan aksi provokatif serupa di depan masjid di Copenhagen.
Aksi Paludan membakar Al-Qur’an di Copenhagen bahkan dijaga ketat kepolisian. Aparat berwenang terlihat memasang garis polisi di sekeliling Paludan yang membakar kitab suci umat Islam itu di seberang masjid, disaat para jemaah baru keluar usai melaksanakan salat ashar. Ia juga sempat berorasi yang isinya banyak menghina Nabi Muhammad SAW.
Aksi ini menambah deretan panjang penghinaan dan pelecehan terhadap kitab suci agama Islam. Beberapa negara kaum muslimin, termasuk Indonesia mengecam dan mengutuk apa yang dilakukan oleh Paludan tersebut. Namun, cukupkah hanya dengan kecaman dan kutukan?
Akibat Islamofobia
Aksi pembakaran Al-Qur’an sering terjadi di berbagai wilayah Eropa dan di belahan negara-negara Barat lainnya. Pembakaran Al-Qur’an yang terjadi, jelas mencerminkan adanya Islamofobia. Berdasarkan Wikipedia, Islamofobia adalah sebuah fobia atau suatu ketakutan, kebencian atau prasangka terhadap Islam atau muslim secara umum.
Diakui atau tidak, Islamofobia semakin meluas di dunia. Dari mulai pembakaran Al-Qur’an, penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW, pelecehan serta penindasan terus-menerus ditujukan kepada Islam. Tak hanya Al-Qur’an, Rasulullah SAW, bahkan ajaran Islam serta pemeluknya di berbagai belahan dunia pun, kini masih terus merasakan kekejaman dan kezaliman oleh rezim yang anti-Islam maupun kelompok-kelompok anti-Islam.
Aksi pembakaran Al-Qur’an di Swedia adalah tanda makin meningkatnya kebencian pada ajaran Islam di dunia. PBB pada 2021 menyebutkan tingkat kebencian terhadap Islam terus meningkat. Tercatat 4 dari 10 orang di Eropa memiliki pandangan negatif terhadap muslim. Ini hasil survei antara 2018 dan 2019. Sebuah survei terhadap orang Amerika pada 2017 menemukan bahwa 30% di antaranya menganggap muslim dalam pandangan negatif.
Hal ini terjadi sejak propaganda war on terrorism dan deradikalisasi ajaran Islam yang dilancarkan Barat pimpinan AS pasca tragedi 9/11 pada 2001. AS menuduh Al-Qaeda berada di balik serangan tersebut. Memang banyak yang meragukan keruntuhan gedung WTC akibat serangan teroris dan mengungkap kejanggalannya. Namun, akibat kampanye ini, terjadi peningkatan kebencian pada Islam dan kaum muslim. Ironinya, hal ini justru diadopsi para pemimpin negeri muslim.
Aksi pembakaran Al-Qur’an di Swedia juga tentu merupakan bagian dari yang dijamin demokrasi, yakni kebebasan berbicara. Meski dikritik oleh pemerintah Swedia, izin tetap dikeluarkan dengan alasan hak warga di alam demokrasi. Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson berkata, “Kebebasan berekspresi adalah hal mendasar dalam demokrasi. Namun, yang sesuai hukum belum tentu patut.”
Namun, kebebasan dalam demokrasi yang dipropagandakan Barat sering tidak berlaku untuk umat muslim. Di Prancis, misalnya, berlaku larangan cadar bagi muslimah di tempat-tempat umum.
Oleh karena itu, ajaran demokrasi memang bertolak belakang dengan Islam. Dalam Islam, tidak ada prinsip kebebasan, termasuk menista agama, baik terhadap agama Islam maupun agama selain Islam.
Butuh Peran Negara
Tindakan membakar Al-Qur’an dengan tujuan menghinakannya adalah dosa besar. Jika pelakunya muslim, ia telah kafir. Qadhi Iyadh menyatakan, “Ketahuilah siapa yang merendahkan Al-Qur’an atau terhadap mushaf, sesuatu yang ada dalam Al-Qur’an, atau mencela keduanya, maka ia telah kafir berdasarkan ijmak kaum muslim.” (Asy-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ, 2/110).
Jika pelakunya kafir zimi dan orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslim, tindakannya telah membatalkan perjanjiannya, dan hilang pula jaminan keamanan bagi si pelaku sehingga dapat dijatuhi hukuman mati. Demikianlah pendapat dari Imam asy-Syafii (Ash-Shârim al-Maslûl ‘alâ Syâtim ar-Rasûl, hlm.13).
Terhadap negara-negara kafir yang mendukung dan melindungi para pelaku penistaan Al-Qur’an, kaum muslim seharusnya memutus hubungan diplomatik dengan mereka, lalu mengancam untuk menyerang segala kepentingan mereka.
Dalam sejarah, Khalifah Sultan Abdul Hamid II mengultimatum Inggris dan Prancis yang pada saat itu berkehendak memberikan izin pementasan drama yang menghina Rasulullah SAW. Pemerintah Prancis dan Inggris pun ketakutan lalu membatalkan pementasan drama itu.
Begitulah sikap para pemimpin Dunia Islam yang seharusnya, bukan bermain retorika tanpa aksi nyata. Jika tegas dalam membela Islam, tidak ada satu pun pihak yang berani menistakan agama Islam. Inilah pentingnya kaum muslim memiliki kepemimpinan layaknya perisai pelindung agama.
Sebagaimana sabda Nabi SAW, ”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud,dll)
Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita harus mengutuk dan marah jika ada pihak yang menghina dan melecehkan agama kita. Mengutip perkataan Buya Hamka, “Jika agamamu dihina dan kamu diam saja, maka gantilah bajumu dengan kain kafan.”
Tapi sebagai warga negara biasa, kita tidak bisa berbuat apapun jika tidak ada peran negara. Karena hanya negara lah yang mempunyai kekuasaan.
Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam as-Sulthaniyah mengatakan, ada dua yang menjadi tugas pokok negara, yaitu menjaga agama dan mengatur urusan kaum muslim.
Oleh karena itu, terjaganya kemuliaan agama ini menjadi hal yang sangat penting dalam pandangan Islam. Negara dengan sistem Islam tidak akan membiarkan penghinaan-penghinaan seperti ini terus terjadi.(***)