Oleh : Sara Mambrasar (Mahasiswa Unimuda Sorong)
Politik selalu identik dengan ‘dunianya laki-laki’, sehingga kurang pas rasanya untuk perempuan masuk ke dalam ranah tersebut. Politik selalu identik dengan sesuatu yang aneh dari sudut pandang feminitas karena politik politik terkait dengan kekuasaan, kesewenang-wenangan, mobilisasi massa dengan kompetisi yang tidak melekat pada perempuan yang mengutamakan perdamaian dan harmoni.
Kekuasan pada dasarnya netral sama halnya dengan kebaikan. Politik memiliki dua makna bisa digunakan untuk kebaikan atau sebaliknya. Politik kekuasaan yang di gunakan dengan benar dewasanya dimanifestasikan melalui ketaatan, perubahan dan perubahan. Kondisi politik saat ini memposisikan perempuan sebagai sub ordinasi dari laki-laki. Sehingga kerap kali perempuan dipandang sebelah mata ketika bernyali bersuara dan menyatakan diri sebagai pelaku politik. Realitas bekerja dimanapun seorang warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, entah dia ingin berpartisipasi dalam politik atau tidak, bahkan secara sadar atau tidak sadar menyerahkan nasibnya untuk kemaslahatan orang banyak.
Aktif politik berarti aktif berpartisipasi dalam proses detail pembuatan kebijakan, akan tetapi jika melihat kondisi politik saat ini sungguh ironi. Bagaimana bisa kebijakan tentang perempuan dihasilkan tanpa melibatkan perempuan itu sendiri dalam prosesnya, inilah kenyataan perempuan dan politik di negaraku. Politik tidak menjadi karir yang diperuntukan bagi kaum perempuan, karna sifatnya yang hanya ‘pelengkap’ supremasi kaum yang lain.
Diperlukan upaya untuk memperkuat partipasi politik perempuan di Indonesia, ditempatkan dalam konteks perubahan yang di alami bangsa Indonesia menuju sistem politik yang lebih demokratis.
Inti dari demokrasi adalah negara menjamin kesetaraan politik untuk semua warga negara, termasuk kelompok terpinggirkan (marginal) dan kaum minoritas. Ruang lingkup masih terkesan eksklusif dan tidak ramah terhadap perempuan. Selama ini hak politik dan hukum peremuan masih bersikap semu. Artinya hak masyarakat Indonesia senantiasa berada di bawah kekuasaan laki-laki ,terlebih lagi yang menganut paham patriarki. Kondisi ini jika terus dilanggengkan maka perempuan akan menjadi entitas yang amat dirugikan, karen hak berpolitik adalah hak asasi manusia.
Melihat dari negara lain salah satunya yaitu Thailand, meskipun terdapat sistem patriarki dalam politik yang sama Thailand dan Indonesia, tetapi terdapat perbedaan yang sangat jelas. Salah satunya pada partai politik di Thailand yang sangat memperhatikan kesejahteraan dan masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh konstitutiennya masing-masing. Karena pada dasarnya perempuan perlu mengaktualisasikan dirinya dengan beradaptasi pada lembaga-lembaga politik (legislatif)maupun dalam kehidupan publik.
Kebijakan politik juga harus dilihat dari perspektif gender. Perspektif ini harus diseriusi, statement politik dalam praktiknya merupakan hambatan budaya yang sangat luar biasa terhadap peran formal politik perempuan harus segera dihilangkan, penentuan kuota perempuan dalam aspek politik harus tetapkan secara bijak dan diawasi proses implementasinya. Hak politik perempuan pada dasarnya adalah hak asasi manusia, dan hak asasi manusia merupakan esensi dari kerangka demokrasi sehingga melibatkan perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan menjadi syarat mutlak dalam demokrasi. Dalam teori ini sesungguhnya tidak ada dikotmi antara perempuan dan laki-laki. Akan tetapi pada kenyataanya hak perempuan masih di minimalkan atas nama demokrasi.
Keterwakilan perempuan sendiri dalam dunia politik mulai mendapatkan bagian saat di keluarkan undang-undang pemilu No 12 tahun 2003, yang menepatkan jumlah 30% dari seluruh calon partai pada parlemen adalah perempuan. Selain ketentuan dalam UUD 1945, terdapat juga UU Pemilu, pasal 7 dan pasal 8 CEDAW dan Konvensi Hak Politik perempuan yang semuanya menyuarakan bahwa perempuan memilki hak politik yang sama dengan laki-laki.
Kemudian meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik khususnya di bidang politik tidak akan terjadi secara otomatis ataupun serta merta. Tetapi karena perjuangan yang secara continue untuk mewujudkan hak setiap orang untuk mencapai kesetaraan dan keadilan. Salah satunya dengan mewujudkan peraturan perundang-perundangan yang memilki keberpihakan dan afirmatif terhadap peningkatan perwakilan perempuan.
Jika melihat proses peningkatan dan hambatan dari keterwakilan perempuan itu sendiri pada pemilihan umum pertama tahun 1955, 6,5 % perempuan di antara anggota parlemen. Kemudian perwakilan perempuan Indonesia pernah mengalami pasang surut di parlemen dan mencapai angka tertinggi ini mencapai 13,0% pada tahun 1987. Lalu jumlah perempuan sudah mencapai 8,8% dari semua perwakilan terpilih. Sampai pada akhirnya pasca reformasi keterlibatan perempuan berpatisipasi dalam aktifitas politik waktu ke waktu meningkat.
Terlepas dari peningakatan keterwakilan perempuan tersebut, terdapat faktor lain yang sangat berpengaruh pada sistem politik ialah adanya perpepsi yang menganggap perempuan hanya pantas menjadi ibu rumah tangga, bukan warga masyarakat, apalagi aktor politik. Melihat tantangan dan kendala yang di hadapi bangsa Indonesia terkait keterwakilan perempuan dalam politik, maka di butuhkan strategi meningkatkan partisipasi politik perempuan Indonesia dan diperlukannya pengawasan secara komprehensif untuk menjaga aktifitas politik yang adil dan setara. (**)