Meskipun Terdapat Pro Kontra
SORONG- Pakar hukum dari Universitas Negeri Semarang, Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH.M.Hum.CN., berharap seluruh elemen bangsa termasuk masyarakat mendukung dan mendorong secepatnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) di 2022.
Upaya ini akan meninggalkan produk Kolonial Belanda, dan kemudian membawa hukum pidana di Indonesia menuju hukum yang lebih modern serta mencerminkan nilai asli bangsa.
“Pengesahan RUU KUHP ini akan sangat penting sebagai legacy atau warisan untuk bangsa. Ini penting,” kata Prof. Benny saat acara Dialog Publik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) beberapa waktu lalu.
Dikatakan Prof. Benny pada kegiatan yang digagas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tersebut, salah satu hal krusial dan pentingnya pengesahaan RUU KUHP adalah perubahan paradigma hukum. Perubahan yang bersifat rehabilitatif dan restoratif.
“Pengesahan RUU KUHP juga amanat konstitusi,” tegasnya.
Alasan lain adalah bahwa KUHP yang berlaku saat ini memang produk lama yang sudah tidak mampu mengikuti perkembangan zaman.
Sedikit memberi gambaran, Prof Benny pun mengungkapkan jika KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini berasal dari Belanda dengan nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvS). KUHP ini kemudian diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Upaya pembaruannya sesungguhnya terus dilakukan. Dimulai sejak 1958 yang ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Kemudian pada 1963 diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I yang menghasilkan berbagai resolusi antara lain untuk merumuskan KUHP baru yang prosesnya masih berlangsung hingga saat ini.
Secara umum ada empat argumentasi diungkapkan Prof. Benny yang menuntut KUHP zaman Belanda ini agar segera diganti. Pertama perubahan paradigma hukum dari paradigma retributif atau balas dendam dengan penghukuman badan, menjadi keadilan korektif (bagi pelaku), keadilan restoratif (bagi korban), serta keadilan rehabilitatif (bagi pelaku dan korban).
Kedua, RUU KUHP merupakan Amanah dari TAP MPR II/MPR/1993 tentang GBHN dan Undang-Undang 17 Tahun 2007 tentang RPJPN. Keduanya mengamanatkan mengganti peraturan perundang-undangan produk kolonial menjadi produk nasional.
“Ada Asas Hukum “Het Recht Hinkt Achter De Feiten Aan”, Hukum tertulis itu sering tertinggal dari fakta peristiwanya. KUHP ini usianya sudah lebih 107 tahun,” ujarnya.
Ketiga, secara politik hukum, KUHP (WvS), tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa maupun dasar falsafah Indonesia, yaitu Pancasila. Serta keempat adalah RUU KUHP merupakan perwujudan reformasi sistem hukum pidana nasional yang menyeluruh berdasarkan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa dan HAM secara universal.
Hal senada dikatakan Pakar Hukum Pidana Universitas Jember, I Gede Widhiana Suarda, SH. M.Hum.PhD, mengatakan ada tiga alasan penting sehingga dirinya berharap DPR RI bisa segera mengetok palu pengesahannya menjadi Undang-Undang.
Pertama, secara politis bangsa yang merdeka seperti Indonesia wajib memiliki produk hukum sendiri, dan bukan warisan kolonial Belanda. Kedua yakni kepraktisan. “Saat ini penegak hukum seperti hakim, jaksa dan polisi masih menggunakan terjemahan KUHP yang teks aslinya saja masih bahasa belanda sehingga ada penafsiran berbeda,” katanya.
Ketiga, kata Gede, KUHP yang saat ini berlaku isinya adalah Sebagian besar pembalasan. Padahal dalam hukum pidana modern mengarah pada keadilan rehabilitatif dan restoratif.
Sementara Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Pujiyono, SH.M.Hum. pada sesi selanjutnya lebih mengulas 14 isu krusial dalam RUU KUHP. Secara khusus Ia menyoroti pasal terkait pidana mati yang diatur dalam pasal 67 dan 100 RUU KUHP, yang masih menimbulkan pro dan kontra.
“Ada dua kelompok yang soal pidana mati yakni yang mendukung pidana mati dan yang menolak pidana mati,” katanya.
Ia menegaskan jika pidana mati dalam RUU KUHP diatur sebagai pidana yang bersifat khusus, dan selalu dicantumkan alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.(zia)