Oleh: Tutus Riyanti
(The Voice of Muslimah Papua Barat)
Banyak sekali orang awam yang menganggap bahwa masalah politik adalah masalah yang tidak perlu dan tidak penting untuk di bahas. Bahkan menganggap bahwa masalah politik adalah urusan presiden, menteri, DPR, pejabat, dan jajaran pemerintahan yang lain. Jadi rakyat kecil, apalagi yang tidak menjabat kekuasaan tertentu, tidak perlu membahas masalah politik.
Cukup mengurusi dirinya sendiri, keluarganya, pekerjaannya, dan hal-hal umum lainnya. Tapi jangan pernah membahas masalah politik yang diluar ranahnya. Apalagi didalam forum-forum pengajian, tidak perlu membahas masalah politik. Cukup membahas tentang masalah aqidah, keimanan, akhlak, dan ibadah magdhah lainnya. Benarkah demikian?
Politik dalam Islam
Ketika umat berpikir untuk tidak membahas masalah politik, sejatinya umat tidak menyadari, bahwa masalah politik itu juga berkaitan sangat erat dengan seluruh aspek kehidupan umat.
Tarif pembayaran listrik dan air yang setiap waktu selalu naik. Harga BBM dan kebutuhan pokok yang dipermainkan seenaknya sendiri oleh para Kapitalis. Kurikulum pendidikan yang semakin tidak jelas, dengan biaya pendidikan yang semakin mahal. Kriminalitas merajalela. Kerusakan generasi muda. Ketidakadilan hukum yang terjadi di tengah masyarakat. Dan masih banyak lagi masalah yang berkaitan dengan kehidupan rakyat. Semua itu berhubungan erat dengan pengurusan masalah politik di negeri ini.
Di dalam Islam, masalah politik juga diatur. Politik didefinisikan sebagai “ri’ayatul syu’unil ummah”, yaitu mengurusi seluruh urusan umat/rakyat. Tidak dibolehkan negara abai, lalai, bahkan terang-terangan tidak perduli dengan urusan rakyatnya.
Kepala Negara sebagai pemimpin tertinggi dari suatu negara, mempunyai kewajiban untuk menjamin seluruh urusan rakyatnya. Dari masalah pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, keadilan, keamanan, serta masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat. Jika pemimpin sudah menjalankan kewajibannya dengan baik, maka dia akan menjadi pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya.
Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; yang mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka.” (HR Muslim)
Jika sampai Kepala Negara tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang pemimpin, dan melalaikan pengurusan terhadap rakyatnya, maka akan menyebabkan rakyat menderita serta terdzalimi. Sudah pasti kelalaiannya tersebut kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
Ibnu umar r.a berkata: saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya, seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tangggung jawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin akan ditanya (diminta pertangggung jawab) dari hal yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Lantas, Apa Tugas Umat?
Sebagai kaum muslimin, serta sebagai rakyat dan warga negara yang baik, sudah seharusnya melakukan muhasabah lil hukam (mengoreksi dan mengingatkan penguasa), ketika pemimpin mulai lalai dan salah dalam mengemban amanah. Apalagi, ketika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemimpin, ternyata sangat mendzalimi rakyat dan bertentangan dengan syariat Islam.
Ibarat sebuah keluarga, ketika pemimpin keluarga (ayah/suami) melakukan kesalahan, tidak mengurusi dan mendzalimi istri serta anaknya, apakah semua anggota keluarga tersebut harus diam saja dan bersabar ketika diperlakukan demikian? Apalagi, ketika pemimpin keluarga sudah mengajak bermaksiat kepada Allah. Tentu saja anggota keluarga tidak boleh cuma berdiam diri.
Diamnya anggota keluarga, justru menandakan bahwa mereka tidak mencintai ayah/suaminya. Karna dengan berdiam diri, justru akan membiarkan mereka melangkah ke dasar neraka tanpa diingatkan kesalahannya. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS.At-Tahrim:6)
Begitu juga terhadap pemimpin di negeri ini. Merupakan kewajiban rakyat dan kaum muslimin, untuk mengingatkan dan mengoreksi ketika pemimpin salah dan tidak tepat dalam membuat kebijakan. Dakwah amar ma’ruf nahyi mungkar tidak hanya ditujukan kepada individu, tapi juga harus ditujukan kepada pemimpin yang melakukan kesalahan dalam kepemimpinannya.
Dari Abu Said Al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang dzalim.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Apalagi, jika sampai seorang pemimpin “menyengaja” tidak mau mengurusi rakyatnya dan berbuat dzalim kepadanya. Bahkan memerintahkan rakyatnya untuk tidak taat kepada hukum-hukum Allah SWT, tentulah dosanya akan sangat besar sekali.
Dari Abu Sa’id ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang dzalim.” (HR. Tirmidzi)
Khatimah
Seorang muslim tidak boleh abai dalam masalah politik. Juga tidak boleh menganggap bahwa masalah politik sebagai sesuatu yang tidak penting untuk dibahas. Karena, sejatinya masalah politik adalah pengaturan seluruh urusan umat. Dan ini adalah sesuatu yang diatur oleh syariat Islam. Kelak, umat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT jika sampai mengabaikan masalah ini.(***)