Oleh: Tutus Riyanti
(The Voice of Muslimah Papua Barat)
Dilansir dari Topikpapua.com (21/7/2022), Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Papua Barat, Kombes Polisi Novia Jaya, mengungkap kasus yang berkaitan dengan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) tercatat sebanyak 132 kasus sejak awal tahun 2022 hingga akhir Mei. Kasus tersebut meliputi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) hingga pelecehan seksual.
Untuk kasus PPA ini, wilayah Sorong Kota tertinggi dengan angka 34 kasus, disusul Kabupaten Kaimana 17 kasus, Kabupaten Fakfak 16 kasus dan Kabupaten Manokwari 13 kasus. Sedangkan yang dilaporkan langsung di Ditreskrimum Polda Papua Barat sebanyak 12 kasus. Jadi presentase kasus paling tertinggi itu di Sorong Kota, baru Manokwari, sisanya tersebar di daerah lain.
Fenomena Gunung Es
Dalam catatan Kementerian PPPA, sepanjang 2021 terdapat 10 ribu kasus kekerasan pada anak dan 7.000 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan beragam jenis kekerasan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga mendominasi (74%). Adapun kasus kekerasan terhadap anak terbanyak adalah kasus kekerasan seksual (60%).
Yang membuat miris, kekerasan banyak dilakukan oleh orang terdekat. Tetangga, kerabat, teman, saudara kandung, suami, ayah, bahkan guru dan dosen, yang seharusnya melindungi, mengayomi dan menjadi panutan, justru tega melakukan kejahatan termasuk kejahatan seksual. Sungguh fenomena yang menggambarkan masyarakat yang sakit parah.
Sejatinya kasus kekerasan pada perempuan dan anak ini merupakan fenomena gunung es. Fenomena ini makin membuktikan ada yang salah dalam interaksi hubungan keluarga, masyarakat, serta dunia pendidikan. Jika tidak ditangani secara tuntas, maka kasus ini akan terus bertambah dan berulang.
Akar Masalah
Ada pembacaan yang keliru pada penyebab atau akar masalah kekerasan, sehingga salah juga dalam menganalisis dan menyolusinya. Penyebabnya, karena acuan yang digunakan pemerintah dan LSM dalam melihat masalah kekerasan berdasarkan ideologi kapitalisme sekuler yang dianutnya.
Pemerintah dan LSM melihat akar masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah ketidaksetaraan gender yang berakibat pada ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan. Baik itu ketimpangan ekonomi, status sosial, dan akses politik, sehingga perempuan berada di posisi korban. Dan mereka meyakini bahwa ketidaksetaraan gender itu karena adanya pemahaman agama dan konstruksi budaya.
Akhirnya, pemerintah dan LSM membaca fakta KDRT itu sebagai akibat dari posisi istri yang lebih rendah dari suami, bergantung pada pendapatan suami, sehingga menerima diperlakukan apa pun. Juga karena pernikahan di bawah usia, tidak matang, sering cekcok dan istri menjadi korban. Juga melihat pelecehan seksual akibat dari kuasa laki-laki terhadap perempuan, dan analisis lain yang berkutat pada fakta masyarakat sekuler.
Karena itu, solusi kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak jauh-jauh berasal dari analisis fakta di atas. Di antaranya adalah kebijakan pengarusutamaan gender (PUG), pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP), peningkatan usia perkawinan, dll, yang semuanya hanya melahirkan program-program pemerintah untuk menghilangkan kekerasan semata.
Bahkan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), mendirikan layanan konseling/konsultasi bernama Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA). Tujuannya sebagai tempat pembelajaran yang memberikan layanan pendampingan berupa edukasi, informasi, konseling, dan sosialisasi bagi keluarga yang mengalami masalah, demi meningkatkan kualitas pengasuhan dalam keluarga.
Faktanya, berbagai solusi dari pemerintah saat ini belum mampu menyelesaikan kekerasan yang menimpa perempuan dan anak. Bahkan ada indikasi kasus ini mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Sejatinya, pemicu utama tindak kekerasan pada perempuan dan anak adalah akibat diterapkannya sistem kapitalisme sekuler itu sendiri. Dimana agama tidak dipakai sebagai tuntunan dalam menjalani kehidupan individu, masyarakat, dan bernegara. Agama hanya dianggap sebatas ibadah ritual belaka.
Maka wajar jika ada suami yang menganiaya istri dan anaknya, karena tidak paham tentang larangan bertindak kasar pada perempuan dan anak. Kehidupan miskin juga berpeluang membuat para suami stres, sehingga tega melakukan KDRT. Tidak bisa mengendalikan nafsu, membuat para lelaki tega melakukan kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Dan banyak lagi kasus lainnya, yang disebabkan karena sistem kapitalisme yang memang rusak.
Islam Mampu Melindungi Perempuan dan Anak
Perempuan dan anak butuh sistem yang mampu memberikan perlindungan hakiki. Bukan regulasi semu yang tegak di atas asas sekularisme dan melegalisasi perilaku liberal. Hanya regulasi yang berasaskan akidah Islam akan mampu secara nyata mewujudkan perlindungan sejati.
Akidah Islam akan membentuk ketakwaan individu yang mendorong untuk berperilaku baik terhadap sesama, termasuk terhadap perempuan dan anak. Berlaku baik adalah perintah Allah Taala. Salah satunya dalam QS.Al-Baqarah:195, “Dan berbuat baiklah. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
Rasulullah saw, juga bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim 3729)
“Sebaik-baik kalian adalah yang berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang paling berbuat baik kepada keluargaku.” (HR Tirmidzi 3895)
Perempuan dan anak membutuhkan pemimpin negara yang akan menjadi perisai, yang akan mewujudkan pelindungan secara nyata. Pemimpin ini akan melahirkan regulasi yang mampu menutup semua celah yang bisa memicu kekerasan terhadap perempuan dan anak secara menyeluruh dan komprehensif.
Dalam Islam, negara harus menjamin kesejahteraan keluarga, tidak membebani perempuan dengan kewajiban mencari nafkah. Tidak boleh ada eksploitasi ekonomi atas perempuan dalam Islam. Untuk itu negara akan memastikan semua kepala keluarga mampu memberi nafkah dengan baik, dengan membantunya mendapatkan pekerjaan.
Jika diperlukan, negara akan melakukan beberapa pelatihan dan memberi bantuan modal kepada para suami. Negara akan menegur dan memberi sanksi bagi suami yang tidak optimal bekerja mencari nafkah. Negara tidak akan membiarkan kemiskinan menekan kepala keluarga sehingga stres, dan bertindak kasar pada keluarga sebagai pelampiasannya.
Negara harus meyelenggarakan pendidikan bagi laki-laki dan perempuan agar mampu mengamalkan fungsi orang tua dengan baik dan benar. Keduanya paham menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sebagai pasangan suami istri. Mempergauli pasangan dan anak-anak dengan baik.
Negara dalam Islam akan mengawasi berbagai media cetak dan elektonik dari menyiarkan kepornoan dan kekerasan yang akan mempengaruhi masyarakat. Menerapkan hukum pergaulan laki-laki dan perempuan di ruang publik, memerangi penyimpangan dan kekerasan seksual, dan akan menghukum bagi siapapun pelakunya.
Jadi, negara dalam Islam wajib menjaga keamanan semua rakyatnya (laki-laki, perempuan, dan anak-anak) baik di dalam maupun di luar rumah mereka, dari gangguan apa pun yang akan membahayakan mereka. Semua itu hanya akan terwujud dengan menerapkan aturan Islam secara kaffah dalam kehidupan.(***)