MANOKWARI – Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Papua Barat, tercatat sebanyak 68.988 anak di Papua Barat putus sekolah. Hal ini diungkapkan oleh akademisi Universitas Papua, Dr. Ir. Agus Irianto Sumule, Selasa (27/9) dalam Forum Grup Discusion (FGD) yang dilaksanakan Polda Papua Barat yang merupakan bentuk kepedulian dan perhatian terhadap anak-anak putus sekolah. “Penduduk usia sekolah di Papua Barat dari 7 hingga 24 tahun sekitar 21,28 persen yang tidak bersekolah atau putus sekolah,” ucapnya.
Agus Sumule membagi menjadi dua wilayah adat yakni Domberai dan Bomberai. Untuk Domberai, jumlah orang yang tidak bersekolah atau tidak tamat sekolah dasar (SD) sebanyak 21.321 orang, sedangkan untuk Bomberai sebanyak 5.068 orang. “Kalau kita totalkan untuk wilayah Domberai saja sekitar 57.000 orang yang putus sekolah,” bebernya.
Ia mengungkapkan setiap penduduk di Papua Barat berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu sampai tingkat sekolah menengah (SMA/SMK) dengan beban biaya serendah-rendahnya. “Berbicara pendidikan pasti berbicara HAM, jadi siapapun punya akses mengenyam pendidikan dengan layak,” ungkapnya.
Menurutnya, anggaran yang disediakan untuk dunia pendidikan di tahun 2022 sebesar Rp1,2 triliun yang bersumber dari dana otsus sebesar 1,25 persen ditambah lagi dana bagi hasil minyak dan gas (DBH Migas). “Dengan anggaran tersebut, kita berharap terjadi perubahan bagi pendidikan di Papua Barat,” ucapnya.
Ia mengatakan, perlu adanya perhatian bagi anak-anak yang putus sekolah melalui pendidikan penyetaraan atau Paket A, B dan C. Hal tersebut harus berjalan sebab Papua memiliki undang-undang otsus dimana seluruh penduduk di tanah Papua harus memiliki pendidikan minimal SMA atau SMK. “Paket penyetaraan di Papua Barat musti dibuka, sehingga anak-anak yang putus sekolah bisa menyetarakan pendidikannya,” ungkapnya.
Anak Putus Sekolah Jadi Perhatian Penting
Sementara itu, Kapolda Papua Barat, Irjen Pol Daniel Tahi Monang Silitonga mengatakan masa depan negara terutama di Papua Barat ditentukan oleh generasi muda. Jika tidak mendapat perhatian nantinya akan menjadi permasalahan. Ia menyebutkan angka 68.000 anak di Papua Barat yang putus sekolah menjadi perhatian sangat penting bukan hanya Polda Papua Barat, tetapi semua pemangku kepentingan termasuk dari pemerintahan serta lapisan masyarakat bahkan LSM yang mana akan menjadi pekerjaan besar. “Ini PR kita bersama untuk membuat perubahan bagi anak-anak khususnya yang putus sekolah,” ujarnya.
Ia menjelaskan berbagai permasalah seperti fasilitas dan sebagainya, Dirinya akan menelisik satu per satu apakah ada penyalahgunaan terkait anggaran pendidikan. “Saya akan teliti satu per satu. Menelisik satu per satu bukan perkara yang mudah. Ini jadi pekerjaan rumah buat Polda Papua Barat,” jelasnya. Ia menuturkan beberapa waktu yang lalu, Polda Papua Barat bersama BPK, BPKP serta Inspekorat Papua Barat telah melakukan pertemuan guna pembahasan pengawasan-pengawasan nyata dan real terhadap penganggaran, perencanaan sampai dengan penggunaan anggaran sesuai dengan apa yang direncanakan.
Menanggapi hal tersebut, pemerintah daerah Papua Barat sudah berkomitmen untuk merencanakan ulang terhadap kegiatan perencanaan di dinas-dinas. “Kami akan mengawasi dan melihat serta berusaha membantu,” ucap Kapolda. Ia mengakui adanya saran terkait sekolah sepanjang hari. Kapolda merasa sangat bagus apabila bisa melaksanakannya. “Jika ada sekolah sepanjang hari, yang terlibat bukan hanya dinas pendidikan, ada dinas sosial juga dan yang lain untuk bekerja sama menyediakan makanan hingga gurunya dan segala macamnya,” pungkasnya. (bw)