JAKARTA – Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) menyatakan MPR adalah garda terdepan untuk menjaga dan menyelamatkan ketentuan konstitusi, UUD NRI 1945. Ini terbukti kembali ketika MPR menegaskan sikap untuk taati dan laksanakan konstitusi sekalipun ada berbagai desakan untuk memperpanjang masa jabatan Presiden hingga 3 periode. HNW menuturkan MPR sudah tegas menyatakan semua pihak harus taat konstitusi dan semangat reformasi, karenanya MPR menyatakan tidak ada amandemen UUD NRI Tahun 1945 pada periode MPR saat ini (2019 – 2024).
MPR menegaskan sesuai ketentuan konstitusi, masa jabatan presiden adalah maksimal dua kali masa jabatan dan pemilihan umum harus diselenggarakan lima tahun sekali. HNW membeberkan MPR sudah ketok palu tidak ada amandemen UUD NRI Tahun 1945 pada periode ini, sehingga dipastikan masa jabatan presiden hanya dua periode saja. “Karenanya masa jabatan Presiden Jokowi akan berakhir pada 2024. Dan tidak ada pengunduran Pemilu, karena sesuai dengan ketentuan Konstitusi UUD NRI 1945 pasal 22 E ayat 1, Pemilu harus diselenggarakan 5 tahun sekali, sehingga Pemilu/Pilpres yang akan datang diselenggarakan pada tahun 2024,” kata HNW dalam keterangannya, Minggu (28/8).
Pernyataan HNW itu menjawab pertanyaan salah seorang peserta dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR dengan Forum Pesantren Alumni Gontor di Pondok Pesantren Modern (PPM) Baitussalam, Prambanan, Sleman, DIY, kemarin. Peserta tersebut menyebutkan adanya isu bahwa MPR sedang mengupayakan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, melalui perubahan UUD. Menjawab pertanyaan itu, HNW mengatakan hal itu tidak benar. “Saya tegas menyatakan bahwa tidak benar MPR sedang mengupayakan perpanjangan masa jabatan presiden,” tutur HNW.
HNW mengakui memang ada pihak-pihak di luar MPR yang ngotot mewacanakan perpanjangan masa jabatan presiden. Ia pun berpendapat wacana itu boleh-boleh saja kalau sesuai dengan konstitusi. “Tapi, kalau wacananya tidak sesuai dengan konstitusi, seperti masa jabatan Presiden 3 periode, lebih konstruktif kalau jangan diwacanakan. Kecuali konstitusinya diubah dahulu,” ujarnya.
Menurut HNW, aturan tentang masa jabatan presiden sudah jelas dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945). Dalam pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. “Berarti maksimal hanya dua kali masa jabatan. Itu menjadi arus besar di MPR, bahkan menjadi keputusan bersama di MPR,” imbuhnya.
HNW menjelaskan latar belakang wacana PPHN muncul karena sudah tidak ada lagi GBHN. Salah satu kesepakatan reformasi adalah menguatkan sistem presidensial. Karena itu, presiden tidak dipilih oleh MPR, melainkan dipilih secara langsung oleh rakyat. “Karena presiden bukan lagi mandataris MPR yang menjalankan GBHN buatan MPR maka kewenangan MPR membuat GBHN dihapus,” jelasnya.
Namun, dalam perjalanan, ketiadaaan GBHN membuat arah pembangunan tidak jelas. Meskipun sudah ada UU tentang pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, namun UU itu adalah produk presiden terpilih, bukan produk representatif dari cabang-cabang kekuasaan negara: eksekutif, legislatif dan yudikatif. “Karena itu UU tersebut tidak komprehensif sehingga perlu dikoreksi. Apalagi UU itu tidak mutlak mengikat sehingga bisa tidak dilaksanakan oleh presiden berikutnya. Kondisi ini membuat Indonesia seperti menari poco-poco karena presiden, gubernur, bupati, serta walikota, bisa dari partai yang berbeda-beda dengan program dan janji kampanye yang berbeda-beda,” tuturnya.
Oleh karena itu, HNW mengungkapkan MPR merekomendasikan untuk mengkaji GBHN. Maka dibentuklah Badan Pengkajian MPR yang mengkaji tentang PPHN. “Memang bukan GBHN seperti dulu, tapi PPHN bisa memberi arahan. Agar siapapun pun presidennya tidak keluar dari haluan negara, demikian juga Gubernur, Bupati dan Wali Kota,” ucapnya. (ega/detikcom)