Frits Bodori : Bila Tidak Dituntaskan, Hukum Adat Kepala Ganti Kepala
SORONG – Leonardo Ijie,SH, kuasa hukum keluarga korban minuman keras oplosan, menduga kematian 6 korban usai meminum minuman keras oplosan milik HS, bukan semata-mata karena etanol (alkohol) tetapi juga diberikan pil oleh HS. Demikian dikatakan Leonardo bersama keluarga korban saat konfrensi pers di Kantor LBH Kaki Abu, Jumat (19/8).
Leonardo Idjie menjelaskan, pihak kepolisian Polres Jayapura Kota dalam penetapan pasal terhadap HS harusnya ada pasal yang memberatkan yakni pasal 340 yakni pembunuhan berencana terhadap 6 korban asli anak Papua yang dibawa ke Jayapura oleh HS. “Para korban dibawa HS untuk membuat miras oplosan dan juga diberikan miras untuk diminum. Namun selain itu, HS juga memberikan sejenis obat yang katanya obat Maag kepada 7 korban, sehingga diduga obat tersebut menjadi pemicu kematian 6 korban, sementara salah satu korban selamat karena tidak minum obat tersebut,” jelas Leonado Ijie kepada wartawan, kemarin.
Menanyakan rekam jejak hasil pemeriksaan penyebab kematian 6 orang tersebut, Leo ~sapaan akrabnya~ mengatakan bahwa penyebabnya adalah Etanol. “Makanya perlu dilakukan penyelidikan lebih dalam untuk ketemu obat pil tersebut, karena dugaan kami pasal 340 ada di dalam kasus ini, berdasarkan fakta yang kami dapatkan,” tandasnya.
Leo mengatakan, ia mengetahui fakta tersebut dari korban yang selamat dan saksi yang memberikan obat tersebut. Ia juga mengaku sudah mengantongi bukti rekaman dan video. Kini, HS justru ditetapkan sebagai DPO, hal ini menujukkan Polres Jayapura Kota sangat gegabah lantaran tidak menahan HS, namun hanya diminta wajib lapor. “Kami sangat kecewa terhadap Polres Jayapura, karena adanya laporan tentang penetapan HS masuk dalam DPO, tetapi awalnya HS ini hanya menjalani wajib lapor. Yang jadi pertanyaan kami, status HS ini tersangka atau saksi, tidak jelas, tapi tiba-tiba daftar DPO justru dikeluarkan,” ungkapnya.
Dia meminta agar polisi lebih serius menangani masalah tersebut. Yang mengecewakan, sampai saat ini pihak keluarga belum mendapatkan SPDP sebagai bukti bahwa proses hukum HS sedang berjalan. Keluarga justru hanya diperlihatkan foto yang mereka tidak tahu kevalidan foto tersebut. “Kami selaku kuasa hukum dan juga keluarga korban meminta ketegasan kepada Polda Papua, Polres Kota Jayapura khususnya yang menangani kasus ini. Kematian 6 orang ini, bukan jumlah yang sedikit,” tegasnya.
Leo menegaskan, pihaknya akan terus menuntut keadilan agar HS segera diproses sesuai hukum. Langkah selanjutnya lanjut Leonardo Idjie, dirinya akan terus mendesak Polres Jayapura Kota untuk bekerja lebih cepat mengingat sudah 2 bulan lebih penyelidikan. “Terkesan proses ini diabaikan. Kami tidak akan berhenti, kami akan melayangkan petisi Mosi Tidak Percaya kepada Polda dan Polres. Kami juga akan mengambil langkah hukum hingga ke Mabes Polri. Kami bahkan sudah siapkan surat-surat untuk dikirimkan ke Ombusmen dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Di tempat yang sama, Kepala Suku Besar Imeko Sorong Raya, Frits Bodori mengatakan penegakkan hukum harusnya tidak tebang pilih jika negara Indonesia merupakan negata hukum. “Jangan hanya fokus terhadap kasus polisi tembak polisi, lihat juga rakyat, khususnya rakyat yang ada diatas tanah Papua yang memiliki hukum adat,” paparnya.
Frits mengatakan dirinya sangat menghargai hukum positif, namun apabila kasus ini berlanjut hingga 3 bulan lamanya, dan bila surat yang dilayangkan ke Polda Papua dan Mabes Polri, tidak dilaksanakan, maka pihaknya akan mengambil langkah. “Maka kami akan siap tandatangan pernyataan setiap warga bermarga sama dengan HS yang kami dapat, kami bunuh. Artinya, hukum adat kepala ganti kepala, karena kami manusia harus dihargai. Kami sudah bosan dan capek, kami juga mengerti hukum hanya saja kami hargai pejabat dan pemimpin negara,” tegasnya. (juh)