Oleh: Suwandi, (Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan Kaimana)
Debu – debu musim kemarau terus beterbangan mengikuti derap laju kereta kuda di antara hutan-hutan jati dusun Dirgo, Widodaren, Ngawi. Kereta kuda itu terus berjalan sejauh delapan kilometer dari dusun Dirgo menuju Stasiun Walikukun, Ngawi. Di antara hutan jati yang mulai meranggas, seorang priyayi sepuh duduk di bangku depan kereta kudanya, menatap tajam ke arah depan, ke arah masa depan bangsanya. Enam puluh enam tahun sebelumnya, tepatnya 21 April 1879, di dusun Glondongan, Mlati, Sleman, dari seorang ayah yang bernama Sutodrono yang masih memiliki ikatan darah Bugis Gorontalo, dengan seorang ibu yang berasal dari Kajoran, Yogyakarta, dilahirkan seorang bayi laki-laki yang bernama Radjiman yang kelak sangat berjasa bagi negeri dan bangsa ini.
Radjiman kecil, ngenger pada keluarga dr. Wahidin Sudirohusodo. Radjiman bertugas untuk mengasuh putra dr. Wahidin yang bernama Sulaeman. Ketika Sulaeman bersekolah di ELS, sekolah dasar untuk elit Eropa, bangsawan pribumi dan keturunan Timur Jauh, beliau bertugas sehari-hari mengantarkan Sulaeman ke bangku tempat ia bersekolah. Karena antusiasme akan ilmu yang begitu tinggi dari seorang Radjiman, kerap kali beliau mencuri ilmu yang diajarkan pengajar Belanda dari bawah jendela kelas ELS. Seorang pengajar Belanda mengetahui hal tersebut dan selanjutnya mengupayakan agar beliau dapat bersekolah pula secara bersama-sama di ELS.
Atas budi baik keluarga dr. Wahidin Sudirohusodo, Radjiman diangkat sebagai putra angkat dr. Wahidin. Selepas dari ELS, Radjiman menempuh pendidikan di MULO, AMS dan selanjutnya di STOVIA, sekolah dokter pribumi pada masa penjajahan Hindia Belanda.
Lulus dari STOVIA pada tahun 1898, beliau bertugas sebagai dokter di Banyumas, Purworejo, Madiun dan Semarang. Beliau juga pernah bertugas di Lawang dan Sragen. Di Lawang, beliau mendirikan rumah sakit Jiwa yang sekarang bernama RS Jiwa Dr. Radjiman. Pada tahun 1906, beliau diangkat sebagai Kepala Dinas Kedokteran Kasunanan Surakarta. Dari sinilah, beliau mendapatkan banyak penugasan untuk melanjutkan pendidikan beliau ke Belanda, Inggris, Perancis dan Amerika Serikat. Pada tahun 1938, beliau pensiun dari Dinas Kedokteran Kasunanan Surakarta dan selanjutnya beliau bertetirah di Dirgo, Kelurahan Kauman, Kecamatan Widodaren, Ngawi sampai akhir hayatnya pada tahun 1952. Dirgo menjadi pilihan karena selain topografi daerah yang nyaman, juga karena pada saat itu masyarakat Dirgo sedang terjangkit wabah penyakit pes. Beliau mendedikasikan diri beliau untuk memberantas penyakit pes yang sedang melanda masyarakat Dirgo.
Jalan panjang menuju kemerdekaan bagi bangsanya yang tengah terjajah, beliau rintis sedari pendirian Boedi Oetomo. Beliau pernah memimpin Boedi Oetomo yang kemudian mengantarkan beliau menjadi anggota Volskraad. Di sinilah, bergemuruh semangat dan paham kebangsaan beliau atas negerinya yang belum merdeka yang masih terbelenggu oleh rantai penjajahan.
Menjelang akhir Perang Dunia kedua, para pendiri negeri ini, termasuk beliau, mendirikan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 29 April 1945. Beliau didaulat sebagai Ketua BPUPKI. Beliau didaulat sebagai Ketua BPUPKI karena beliau dipandang sebagai tokoh sepuh yang dihormati, berpandangan luas dan moderat yang dapat menjembatani diskusi panjang para anggota BPUPKI dalam menentukan arah bangsa dan negara yang kelak merdeka.
Kereta api dari Yogyakarta itu tiba di Stasiun Weltevreden. Seorang priyayi sepuh berusia enam puluh enam tahun bergegas menghampiri seorang kusir kereta kuda untuk mengantarkannya ke Gedung Chuo Sangi In, gedung tempat BPUPKI bersidang yang sekarang disebut sebagai Gedung Pancasila. Beliau adalah Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wediodiningrat.
BPUPKI melaksanakan sidang sebanyak dua kali. Sidang pertama BPUPKI berlangsung pada tanggal 29 Mei 1945 sampai 01 Juni 1945. Sementara sidang kedua BPUPKI berlangsung dari tanggal 10 Juli 1945 sampai 17 Juli 1945. Sebagaimana arsip A.G Pringgodigdo, notulis Sidang BPUPKI, pada tengah masa sidangnya yang kedua, pada tanggal 14 Juli 1945, lahirlah momentum keberadaan pajak bagi negara dengan segala dasar hukumnya yang diatur dalam UUD atas inisiasi dari beliau, dr. KRT Radjiman Wediodiningrat.
“Bagi sebuah bangsa yang merdeka, perlu dipikirkan adanya sumber pendanaan yang dapat digunakan bangsa tersebut dalam menyelenggarakan pemerintahannya dan sumber pendanaan tersebut harus tercantum dalam undang-undang dasar negara…”
Disepakati oleh peserta sidang bahwa sumber pendanaan tersebut adalah pajak dan selanjutnya keberadaan pajak tersebut termaktub dalam Pasal 23 Undang-undang Dasar 1945. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-313/PJ/2017 tanggal 22 Desember 2017, tanggal 14 Juli inilah yang kemudian kita peringati sebagai Hari Pajak. Tepat di hari kemarin, 14 Juli 2022 kita memperingati Hari Pajak. Momentum inilah yang seyogyanya membawa kita semua untuk ingat dan memahami sebagaimana sejarah yang ada bahwa pajak merupakan amanat dari para pendiri negara untuk kemandirian bangsa dan negara atas hari ini dan hari esok. Sebagaimana Pasal 23 di atas bahwa pajak dihadirkan untuk keperluan negara, menyelenggarakan pemerintahan yang tentunya termasuk juga untuk melaksanakan pembangunan yang hasilnya dinikmati oleh seluruh warga negara.
Sebagai sebuah amanat dari para pendiri negara, kita yang saat ini telah dilahirkan di negara tercinta ini pada masa yang tidak lagi harus berjuang mengusir penjajah dengan segala taruhan jiwa dan raga, kita semua yang tinggal mengisi masa kemerdekaan ini, seyogyanya kita dapat menjaga amanat dari para pendiri negara tersebut dengan segala kesungguhan hati dan penuh amanah. Sudah seharusnya kita semua memenuhi kewajiban perpajakan yang ada sebagaimana ketentuan yang berlaku. Terlebih lagi, pajak adalah tulang punggung perekonomian bangsa dan negara. Dari penerimaan pajak inilah akan dapat dilaksanakan pembiayaan berbagai keperluan negara, penyelenggaraan pemerintahan termasuk pelaksanaan pembangunan yang muaranya untuk kemaslahatan kita bersama.
Bahwasannya pajak adalah amanat dari para pendiri negara untuk kemandirian bangsa dan negara atas hari ini dan hari esok. SELAMAT HARI PAJAK. (***)