Liston Simorangkir,SH,MH: Penetapan Eksekusi PN Manokwari Tidak Profesional
SORONG- Menanggapi penetapan eksekusi yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Manokwari atas perkara perdata Rico Sia vs Pemerintah Provinsi Papua Barat yang merubah isi penetapan eksekusi Pengadilan Negeri Sorong sebagai pihak yang berwenang mengadili perkara perdata ini, lawyer Liston Habonaran Simorangkir, SH MH menilai PN Manokwari tidak profesional. Bahkan Liston yang mantan jurnalis ini menilai PN Manokwari sebagai penerima delegasi diduga telah melakukan pelanggaran etik/pedoman didalamnya.
Dalam releasenya kepada Radar Sorong, Liston-sapaan akrabnya- menguraikan pandangan hukumnya . Terkait kedudukan sengketa/perkara Rico Sia dalam hal ini Putusan Perdamaian No.69 Tahun 2019 antara Guburnur Provinsi Papua Barat dengan Rico Sia, yakni Pemprov Papua Barat bersedia membayar Rp.150 Miliar kepada Rico Sia paling lambat Tahun Anggaran 2021 dan apabila melewati tenggat waktu maka dibebankan bunga berjalan sebesar 6 %/tahun.
“Sesungguhnya perkara ini sangat menarik perhatian publik, terlebih para insan lawyer,”ujarnya. Ia mengatakan demikian, karena saat ini telah menginjak tahun 2022 namun Pemprov Papua Barat belum juga melakukan pembayaran sepeserpun. Bahkan sebaliknya Pemprov.PB melakukan perlawanan s/d tingkat Kasasi & PK atas Akta Van Dading (Putusan Perdamaian) yang dibuat, disusun, dan di tandatangani para pihak secara bersama.
Sesuai informasi bahwasanya pihak Rico Sia telah mengajukan permohonan Eksekusi yang dalam prosesnya KPN Sorong telah mengeluarkan Penetapan No.4/eksekusi Tahun 2022 yang bunyinya pada pokoknya MENETAPKAN “melaksanakan eksekusi dengan mentransfer/pindah buku dari Rekening Kasda Bank Papua kepada Rekening Rico Sia” sebagaimana penetapan KPN Sorong didelegasikan kepada KPN Manokwari (sesuai wilayah hukum) kemudian redaksi penetapan tersebut berubah/diubah dengan redaksi menetapkan “Melaksanakan eksekusi pembayaran sejumlah uang dengan cara menganggarkan/memasukkan pada penganggaran DIPA T.A berjalan atau T.A berikutnya.
Sesungguhnya ujar Liston, jika dilihat dari kaca mata hukum hal penetapan KPN Manokwari tersebut diduga telah melampaui wewenang dan bisa dikatakan hal tersebut cacat demi hukum. Sebab sesungguhnya KPN Manokwari tidak berhak/tidak berwenang mengeluarkan produk hukum baru atas produk putusan perdamaian yang telah incraht Van gewijsde.
Bahwa penetapan KPN Sorong telah tegas dan jelas menyebut melaksanakan eksekusi dengan mentransfer/pindah buku dari Rekening Kasda Bank Papua kepada Rek a.n Rico. Trus kenapa muncul redaksi baru dari KPN Manokwari ?? Ini patut dan layak dipertanyakan “Ini ada apa ??…Ini namanya latihan lain main lain,”ujar Liston. “Selain itu saya menganggap bahwasanya penetapan yang diterbitkan oleh KPN Sorong yang secara jelas dan tegas menurut redaksinya, tidak dapat diutak-atik dan tidak dapat ditafsirkan lain lagi dengan melahirkan penetapan baru sebagaimana Penetapan yang diterbitkan KPN Manokwari.
Yang menarik lagi, lanjut Liston, bahwasanya pada Putusan Perdamaian No.69 Tahun 2019 (perkara a quo) telah tegas menyebut Pemprov.PB bersedia membayar sebesar Rp.150 M kepada Rico Sia paling lambat T.A 2021 dan apabila melewati tenggat waktu maka dibebankan bunga berjalan 6 %/tahun.
“Hal ini kan telah jelas bahwa sekarang tahun 2022, sehingga dapat dikatakan Pemprov.PB telah ingkar terhadap putusan perdamaian dimaksud. Jadi isi putusan perdamaian tersebut seharusnya dilakukan eksekusi pembayaran/pindah buku. Bukan mengeluarkan penetapan baru untuk penganggaran tahun anggaran berjalan/berikutnya yang seakan-akan KPN Manokwari diduga kembali memeriksa, mengadili dan memutus Putusan Perdamaian yang telah incraht,”sorot Liston Simorangkir.
Sesungguhnya delegasi pelaksanaan eksekusi dari KPN Sorong kepada KPN Manokwari sebagai penerima delegasi seharusnya hanya melaksanakan delegasi dan melaksanakan Penetapan sebagaimana redaksi penetapan delegasi KPN Sorong. “Atas tindakan KPN Manokwari tersebut dapat dikategorikan tidak profesional dan diduga melakukan pelanggaran etik/pedoman sebagaimana “Berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 Pasal 53 ayat (2) menyatakan, “Penetapan dan Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”.
Akan tetapi Penetapan Eksekusi KPN Manokwari No. 10/Pdt.Eksekusi/2022/PN Mnk tidak memuat dan tidak terdapat alasan–alasan yuridis untuk merubah penetapan delegasi dari KPN Sorong dan sesungguhnya KPN Manokwari tidak berwenang untuk merubah penetapan delegasi KPN Sorong.
Selain itu berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI & Ketua Komisi Yudisial RI No. 047/KMA/SKB/IV/2009 | No. 02/SKB/P.KY/IV 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim angka 10 poin 10.4 halaman 20 Menyatakan “Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya”.
Sehingga berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut jo SEMA No. 1 tahun 2010 tentang Permintaan Bantun Eksekusi, Ketua dan Panitera Pengadilan Negeri Manokwari telah sangat fatal membuat kekeliruan sebagai Penerima Delegasi dalam membuat Penetapan Eksekusi Nomor : 10/Pdt.Eksekusi/2022/PN Mnk dengan mengabaikan Penetapan KPN Sorong yang redaksinya telah jelas dan tegas.
“Sangat ironis dan dapat dikategorikan bahwa penetapan eksekusi Pengadilan Negeri Manokwari seperti harimau tanpa gigi, karena seharusnya eksekusi merupakan mahkota putusan Pengadilan yang harus dilaksanakan Eksekusi secara paksa sebab putusan tersebut bersifat Condemnatoir atau menghukum pihak yang tidak taat untuk melakukan sesuai putusan atau berbuat sesuatu. (**/ros)