Oleh: Tutus Riyanti
(The Voice of Muslimah Papua Barat)
Indonesia memperingati Hari Anak Nasional pada 23 Juli setiap tahunnya. Hari Anak Nasional 2022 merupakan perayaan ke-39 sejak ditetapkan pada 19 Juli 1984. Ketentuan ini berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 44 Tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional. Pada tahun ini, pemerintah mengambil tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”.
Pemerintah memang telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi anak dari kekerasan. Di antara regulasi yang mengatur hal ini ialah UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Pemerintah juga sudah menetapkan program yang bertujuan melindungi anak dari kekerasan, seperti Sekolah Ramah Anak, Kota Layak Anak, Pendidikan Karakter, dan Revolusi Mental. Namun, beragam upaya tersebut belum mampu mengikis maraknya kekerasan terhadap anak. Di manakah letak kesalahannya?
Generasi Terancam
Dilansir dari Child Help, kekerasan pada anak atau child abuse adalah ketika seseorang, baik melalui tindakan atau berniat untuk bertindak, yang menyebabkan cedera, kematian, kerugian emosional, atau risiko cedera serius pada anak. Mengabaikan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak seperti makanan, pakaian, dan perawatan kepada anak, juga termasuk sebagai tindakan kekerasan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat jumlah kasus pelanggaran hak anak selama 2021 mencapai 5.953 kasus, 859 kasus di antaranya merupakan kekerasan seksual. Ketua KPAI Susanto merinci, dari 5.953 kasus itu dibagi menjadi kasus Pemenuhan Hak Anak sebanyak 2.971 kasus, dan Perlindungan Khusus Anak 2.982 kasus.
Kebanyakan kasus yang terjadi pada anak umumnya dilakukan oleh orang terdekat, seperti teman seumuran, tetangga, oknum pendidik, hingga saudara dan orang tuanya sendiri. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor:
Pertama, faktor keimanan. Keimanan adalah pondasi yang kuat bagi manusia, agar bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tanpa adanya keimanan, manusia tidak merasa takut ketika melakukan perbuatan yang melanggar aturan agama. Apalagi, sistem sekularisme yang dianut negara ini, membuat manusia memisahkan antara aturan agama dan aturan kehidupan. Manusia bebas berbuat apa saja, dan agama tidak boleh mengatur.
Kedua, faktor keluarga. Pola pengasuhan orang tua sejak anak masih kecil akan berpengaruh kuat ketika anak sudah dewasa. Misal semenjak kecil, orang tua terbiasa melakukan kekerasan saat anak bermasalah. Maka nanti ketika dia bermasalah dengan temannya, akan melakukan kekerasan juga, karena itulah yang diajarkan oleh orang tuanya. Hal itu bisa jadi terus berlanjut sampai anak dewasa dan berkeluarga.
Ketiga, faktor kemiskinan dan pengangguran. Kondisi hari ini, kemiskinan semakin merajalela. Tingginya angka pengangguran juga terus mengancam. Kondisi ini membuat banyak orang tua yang stres, dan imbasnya anak menjadi pelampiasan. Tak jarang melakukan kekerasan secara fisik dan psikis kepada anak.
Ketiga, kondisi lingkungan tempat tinggal juga sangat mempengaruhi. Tidak adanya rasa kepedulian dan individualisme, membuat masyarakat tidak peka dan acuh terhadap orang lain. Hal ini membuat aksi kejahatan dan kekerasan terhadap anak akan terus berulang karena dibiarkan.
Keempat, adanya pengaruh internet dan media sosial. Apa yang dilihat dan ditonton, pasti sangat mempengaruhi pemikiran manusia. Banyak sekali aksi kejahatan dan kekerasan terhadap anak yang dilakukan terinspirasi dari apa yang sudah diakses, misal dari membaca tulisan, film, game, dll.
Kelima, hukuman yang diberikan kepada pelaku tidak tegas dan tidak memberikan efek jera. Akhirnya terus terulang dengan kasus yang sama.
Solusi Islam
Islam adalah solusi bagi semua permasalahan yang menimpa manusia. Termasuk dalam kasus kejahatan dan kekerasan yang menimpa generasi, atau yang pelakunya adalah generasi itu sendiri. Semua mempunyai peranan yang penting dalam menjaga dan menyelamatkan generasi. Dimulai dari peran keluarga, masyarakat, juga negara.
Dalam Islam, keluarga harus menjadi garda terdepan yang melindungi generasi, bukan malah menjadi pihak yang menyakitinya. Akidah Islam juga harus dijadikan landasan dalam membangun keluarga, sehingga terbentuk keluarga yang saling mencintai dan melindungi dalam ketaatan kepada Allah. Begitu juga masyarakat sekitar harus menjadi tempat yang kondusif, sekaligus sebagai kontrol sosial bagi generasi.
Dalam pandangan Islam, negara harus tampil sebagai junnah (perisai) bagi masa depan generasi. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu adalah perisai. Seseorang akan berperang dibelakangnya (mendukung), dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muslim no.3428).
Sebagai bentuk perlindungan, negara harus memblokir semua tayangan (televisi atau media sosial) dan buku bacaan yang mengandung konten kekerasan dan pornografi. Budaya dan pemahaman Barat yang merusak pemikiran manusia dan mengancam generasi, semua tidak boleh dibiarkan masuk kedalam negeri. Negara juga akan menghukum siapapun yang melakukan tindak kekerasan dan kejahatan terhadap generasi, siapapun pelakunya.
Sungguh miris nasib generasi saat ini. Hari Anak Nasional seharusnya menjadi momentum bagi negara untuk menyelamatkan dan melindungi nasib generasi. Namun, hal itu mustahil terwujud di dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini. Generasi akan terlindungi secara maksimal jika diterapkan sistem aturan Islam didalam lingkup keluarga, masyarakat, dan negara.(***)