Oleh : Suwandi – Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan Kaimana
SEJAK reformasi perpajakan yang pertama pada tahun 1983, sistem perpajakan kita telah beralih dari official assessment system menjadi self assessment system. Self assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang membebankan penentuan besaran pajak yang wajib dipenuhi secara mandiri oleh wajib pajak yang bersangkutan. Dalam hal ini, wajib pajak merupakan pihak yang berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan besaran pajaknya ke Direktorat Jenderal Pajak atau melalui sistem administrasi online yang sudah dicreate oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Di sinilah, dalam self assessment system ini, wajib pajak memegang peranan penting dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya. Satu hal yang utama adalah terdapat adanya kesadaran penuh wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana ketentuan yang berlaku. Kesadaran penuh wajib pajak atas ketentuan perpajakan yang harus dilaksanakan dan kesadaran penuh wajib pajak untuk secara konsisten melaksanakan ketentuan perpajakan tersebut.
Jika wajib pajak alpa atau tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya sebagaimana ketentuan yang berlaku, maka atas wajib pajak yang bersangkutan akan ditagih pemenuhan kewajiban perpajakannya dengan disertai pengenaan sanksi perpajakan sebagaimana ketentuan yang ada. Namun demikian, sejak 01 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022 atas kewajiban perpajakan wajib pajak yang belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, Direktorat Jenderal Pajak membuka ruang bagi wajib pajak untuk melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannya tersebut dengan berbagai kemudahan dan manfaat serta tiadanya sanksi perpajakan melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS). PPS merupakan amanat dari pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan sebagaimana yang termaktub dalam Bab V, Pasal 5 sampai 12.
Maksud dari PPS adalah memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan/ mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran Pajak Penghasilan berdasarkan pengungkapan harta.
Pelaksanaan PPS ini dilatarbelakangi oleh adanya kondisi bahwa :
a. Masih terdapat peserta Pengampunan Pajak yang belum mendeklarasikan seluruh aset pada saat Pengampunan Pajak; dengan tindak lanjut peserta Pengampunan Pajak (Orang Pribadi atau Badan) yang belum melaporkan seluruh harta dalam Surat Pernyataan Harta (SPH), bila ditemukan oleh Direktorat Jenderal Pajak akan dianggap penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan Final sebesar 25% (Badan), 30% (Orang Pribadi), 12,5% (Wajib Pajak Tertentu) dari harta bersih tambahan ditambah sanksi 200% (pengaturan sebelum UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 36/2017)
b. Masih terdapat Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum mengungkapkan seluruh penghasilan dalam SPT Tahunan 2016 s.d. 2020; dengan tindak lanjut Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum melaporkan penghasilan Tahun Pajak 2016-2020 sesuai ketentuan akan dikenai Pajak Penghasilan sesuai tarif yang berlaku ditambah sanksi administrasi
Sebagaimana Peraturan Menteri Keuangan Nomor : PMK-196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, dinyatakan bahwa ruang lingkup PPS terdiri dari dua kebijakan, yakni :
a. Kebijakan I, dengan kriteria :
– Pembayaran Pajak Penghasilan final berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program Pengampunan Pajak.
– Peserta dari Kebijakan I ini adalah Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan peserta Pengampunan Pajak.
– Basis pengungkapannya adalah harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkap pada saat mengikuti Pengampunan Pajak.
– Tarif : 11% untuk harta deklarasi luar negeri, 8% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta dalam negeri, 6% untuk harta luar negeri repatriasi dan asset dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi/renewable energy.
– Manfaat : Tidak dikenai sanksi sebagaimana Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Pengampunan Pajak dan atas data/informasi yang bersumber dari Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.
– Konsekuensi kurang ungkap harta : Bagi peserta Pengampunan Pajak (Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan) yang sampai dengan Program Pengampunan Sukarela berakhir (30 Juni 2022) masih terdapat harta belum dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) pada saat mengikuti Pengampunan Pajak 2016, maka jika Direktorat Jenderal Pajak menemukan adanya harta lainnya yang belum diungkap tersebut (s.d 2015) akan dikenakan Pajak Penghasilan Final sebesar 25% (Badan), 30% (Orang Pribadi), 12,5% (Wajib Pajak Tertentu) dari harta bersih tambahan ditambah sanksi 200%.
b. Kebijakan II, dengan kriteria :
– Pembayaran Pajak Penghasilan final berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Tahun Pajak 2020.
– Peserta dari Kebijakan II ini adalah Wajib Pajak Orang Pribadi.
– Basis pengungkapannya adalah harta perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020.
– Tarif : 18% untuk harta deklarasi luar negeri, 14% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta dalam negeri, 12% untuk harta luar negeri repatriasi dan aset dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi/renewable energy.
– Manfaat : Tidak diterbitkan ketetapan untuk kewajiban 2016-2020, kecuali ditemukan harta kurang diungkap. (PPh OP, PPh Pot/Put, dan PPN, kecuali pajak yang telah dipotong/dipungut tetapi tidak disetorkan).
Atas data/informasi yang bersumber dari Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP.
– Konsekuensi kurang ungkap harta : Bagi orang pribadi peserta PPS Kebijakan II yang masih terdapat adanya harta 2016-2020 yang tidak diungkap dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH), maka jika Direktorat Jenderal Pajak menemukan adanya harta lainnya yang belum diungkap tersebut akan dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 30 % ditambah sanksi sebagaimana Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa PPS adalah sebuah ruang yang cukup positif bagi wajib pajak, ditinjau dari tarif yang diberlakukan serta azas kemanfaatannya. Tarif Pajak Penghasilan yang lebih rendah dari ketentuan umum, tiadanya sanksi perpajakan dan tidak diterbitkannya ketetapan perpajakan untuk Tahun Pajak 2016-2020 (jika wajib pajak mengikuti PPS Kebijakan II sebagaimana ketentuan yang berlaku) merupakan sesuatu yang sangat layak untuk dipertimbangkan.
PPS akan membawa dan menuntun wajib pajak untuk memulai lembaran baru dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dengan melaksanakan kewajiban perpajakan tersebut secara lebih baik sebagaimana ketentuan yang berlaku. Suatu lembaran baru tanpa adanya kekhawatiran akan terbitnya sanksi perpajakan atau akan terbitnya ketetapan pajak atas kewajiban perpajakan tahun-tahun sebelumnya. Wajib pajak selanjutnya dapat lebih mencurahkan perhatiannya pada kesuksesan kegiatan usahanya sebagaimana apa yang menjadi harapannya. Senyampang masih ada kesempatan sebelum berakhir pada 30 Juni 2022 nanti, seyogyanya PPS ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Ada PPS, kurang apa lagi ?….
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.