AIMAS – Polemik status kepemilikan hak ulayat di Kelurahan Katinim Distrik Salawati Kabupaten Sorong oleh marga/keret Malakabu Maibem dan Kalawen Panlu kembali mencuat. Masyarakat di area tersebut dikagetkan dengan berdirinya baliho yang memuat tulisan bahwa tanah tersebut merupakan hak ulayat atas Marga Kalawen Panlu. “Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia no:3220K/PDT/2021 tanggal 28 Oktober 2021 yang dimenangkan oleh Marga Kalawen Panlu yang telah mempunyai keputusan hukum tetap,” demikian keterangan yang tertulis dalam baliho.
Padahal, berdasarkan keterangan berbagai pihak, baik dari marga Malakabu Maibem maupun marga lainnya yang tinggal di sana, sejak dahulu tanah tersebut diketahui merupakan bagian dari hak ulayat Marga Malakabu Maibem. “Saya di sini dari tahun 1982, dan mulai saat itu sampai sekarang yang saya tahu bahwa tanah ini milik Malakabu Maibem. Bahkan orang-orang tua dulu juga sampaikan demikian. Kami disini puluhan tahun, tapi kami bukan pemilik tanah ini,” ujar salah sorang masyarakat pendatang dari Maluku.
Ditemui Radar Sorong, Ketua Dewan Adat Papua Asli Suku Moi, Sipai Abner Bisulu juga mengungkapkan hal senada. Dimana berdasarkan keputusan adat, pemilik hak ulayat yang dah adalah Marga Malakabu Maibem. Hal itu juga sesuai dari hasil keputusan tertinggi yang bersumber dari sidang adat tertutup, 6 Februari 2004 di Mayumsai, Katapop Pantai. Serta berdasarkan keputusan sidang terbuka istimewa luar biasa 17 Juli 2018, di Katapop Pantai. “Dari keputusan adat bahwa tanah ini benar milik (marga) Malakabu Maibem. Keputusan yang paling tinggi adalah yang bersumber dari sidang adat. Pengadilan tertinggi adalah pengadilan adat, tidak bisa diganggu gugat. Lebih dati 350 suku di Papua menganut paham itu,“ ungkap Sipai.
Zaman dahulu, lanjut Sipai, ketika ada pihak yang berani mengganggu keputusan adat, maka akan terjadi perang (suku) besar. Namun dengan bergulirnya permasalahn ini, pihak Malakabu Maibem telah sangat terbuka untuk mengikuti proses kajian yang dilakukan. Bahkan Malakabu Maibem juga memgikuti proses persidangan Pengadilan Negeri Sorong, dimana hasil akhirnya kembali ditegaskan bahwa Malakabu Maibem memenangkan status kepemilikan tanah tersebut. Namun, karena Kalawen Panlu belum berbesar hati menerima kekalahan, maka diajukanlah banding di Pengadilan Tinggi Jayapura. “Kelanjutan persoalan ini dibawa sampai ke Pengadilan Negeri Sorong. Di sana diputuskan bahwa status tanah ini dimenangkan oleh Marga Malakabu Maibem. Itu jelas. Sehingga kami merasa keputusan Mahkamah Agung, keputusan Pengadilan Tinggi Jayapura sudah tidak perlu lagi. Sekali lagi saya katakan bahwa hukum adat adalah hukum tertinggi, dan kami sudah dapatkan itu,” tegas Sipai.
Sipai juga mempertanyakan, terkait pemasangan spanduk kemenangan Marga Kalawen Panlu yang terkesan sembunyi-sembunyi. Sebab baginya, jika memang yang tertulis dalam spanduk mwrupakan kebenaran yang nyata, sebaiknya pihak Kalawen Panlu melakukannya terang-terangan. “Kami tidak tahu, masyarakat di sini tidak ada yang tahu. Kemungkinan mereka (pihak Kalawen Panlu) sengaja pasang diam-diam di malam hari. Kalau memang apa yang dilakukan ini adalah suatu kebenaran, mengapa tidak terbuka, tidak terang-terangan. Sebenarnya kalau mereka benar, mereka tidak boleh takut,” kata Sipai.
Dengan adanya gejolak tersebut, maka masyarakat setempat melakukan upacara sumpah adat sebagai bentuk kesaksian atas kebenaran dan kemenangan Malakabu Maibem. Upacara adat yang dipimpin langsung oleh Sipai Abner Bisulu selaku Ketua Dewan Adat Papua Asli Suku Moi, juga dihadiri oleh perwakilan pemerintah Distrik Salawati dan Kelurahan Katinim, TNI-Polri, serta seluruh perwakilan masyarakat Papua dan non Papua yang bermukim di sana. Sipai berharap setelah ini, status kepemilikan hak ulayat tidak lagi dipersoalkan. Ia juga meminta dukungan dari pemerintah dan aparat TNI-Polri untuk sama-sama menegakkan keadilan dengan berdasar pada Keputusan Tertinggi yang diakui masyarakat Moi, yakni sidang adat.
“Harapan saya, setelah ini persoalan selesai. Saya harap nanti akan diatur tentang status atas keputusan adat. Sehingga tidak ada alasan pihak lain yang bisa mengacaukan keputusan adat. Saya percaya bahwa pemerintah yang ada di daerah adalah perpanjangan tangan dari presiden, bahkan pihak keamanan juga sebagai bagian kaki tangan dari negara. Maka saya harap persoalan ini bisa lebih dicermati, bahwa apa yang sudah menjadi keputusan adat jangan sampai dilanggar. Jangan sampai ke depannya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh masyarakat,” tukas Sipai. (ayu)