Aliansi Masyarakat Minta Perpanjangan Masa Jabatan Gubernur Papua Barat
MANOKWARI – Sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Hak Konstitusi, menolak penempatan penjabat gubernur, serta mendesak agar pemerintah pusat memperpanjang masa bakti Dominggus Mandacan sebagai Gubernur Papua Barat. Penolakan dan desakan tersebut disampaikan dalam aksi demo damai yang diselenggarakan di Manokwari, Senin (14/2) siang.
Dalam orasinya, Ronald M selaku koordinator mengatakan, pemerintah pusat harus mempertimbangkan aspirasi yang disuarakan oleh masyarakat di kawasan otonomi khusus. Aksi demo damai yang diselenggarakan itu merupakan bentuk spontanitas dan solidaritas masyarakat nusantara. ”Karena di dalam wilayah ini berlaku Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus yang telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021,” kata Ronald.
Perlu diketahui bahwa masa bakti Gubernur Papua Barat periode 2017-2022 akan berakhir pada 20 Mei 2022. Selanjutnya, jabatan gubernur diisi oleh penjabat yang ditentukan pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri. Oleh sebab itu, aliansi menilai bahwa pelaksanaan Pilkada serentak yang akan terlaksana pada 2024 dapat berdampak terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan stabilitas keamanan daerah. ”Jika tidak disikapi pemerintah pusat, berpotensi gangguan stabilitas keamanan,” tegas Ronald.
Selain itu, ada sejumlah agenda telah disahkan pemerintah pusat di Papua Barat, seperti, rencana induk pembangunan Papua 2021 sampai 2041, peraturan pemerintah terkait badan percepatan pembangunan Papua, rencana pemekaran Provinsi Papua (Papua Selatan dan Papua Tengah) dan pemekaran Provinsi Papua Barat (Papua Barat Daya). Menurutnya, agenda-agenda strategis yang telah direncanakan dapat berjalan sesuai ekspektasi jika dikawal langsung oleh gubernur defenitif. ”Serta berbagai kegiatan investasi skala nasional di wilayah Papua Barat,” ucap Ronald.
Aliansi juga mendesak agar Presiden Jokowi merealisasikan tiga poin penting. Pertama, segera mengambil kebijakan khusus guna memperpanjang masa bakti Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan sebagai Penjabat Gubernur hingga tahun 2023 mendatang. Kedua, menolak penunjukan Penjabat Karateker Gubernur Papua Barat berlatarbelakang militer karena menimbulkan reaksi sosial yang mengganggu keamanan. ”Ketiga, jika pernyataan ini tidak diseriusi pemerintah pusat, maka jangan salahkan rakyat Papua jika terjadi gejolak sosial yang berpotensi disintegrasi bangsa,” tegas Ronald.
Tiga poin aspirasi yang tertuang dalam pernyataan sikap diserahkan kepada Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono, beserta rombongan yang sedang melakukan pertemuan dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat. Di hadapan massa Aliansi Masyarakat Peduli Hak Konstitusi, Nono Sampono mengatakan bahwa Papua dan Papua Barat sebagai salah satu kawasan otonomi khusus sudah semestinya mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat. Dan, DPD sebagai perwakilan rakyat akan menyerahkan aspirasi itu ke pemerintah pusat. ”Kita akan berjuang untuk ini (Aspirasi, red),” ucapnya. ”Dan, kita tahu bahwa ini bukan kepentingan Dominggus Mandacan tetapi kepentingan Papua dan juga NKRI,” tambahnya.
Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi menambahkan, negara mengakui dan menghormati daerah-daerah yang berstatus khusus dalam bingkai NKRI. Kunjungan DPD RI ke Papua Barat sekaligus mengakomodir seluruh aspirasi masyarakat di Papua Barat untuk diperjuangkan di Jakarta. ”Kita pastikan, aspirasi ini akan sampai ke tangan Ketua DPD RI, Ketua DPR RI, di meja Menkopolhukam dan juga meja Presiden,” tegas Fachrul Razi.
Menurut senator asal Aceh ini, permintaan untuk memperpanjang masa bakti gubernur membuktikan masyarakat masih menginginkan Dominggus Mandacan sebagai kepala daerah. ”Beliau (Dominggus, red) yang mengawal dana otsus dan kesejahteraan masyarakat di Papua Barat,” tutur dia.
Terpisah, Gubernur Papua Barat Drs Dominggus Mandacan,MSi menjelaskan, selain mengawal dana otsus 2022, pemerintah daerah juga sedang menuntaskan sejumlah peraturan daerah khusus (Perdasus) dan peraturan daerah provinsi (Perdasi). Kehadiran Penjabat Gubernur kurang lebih selama tiga tahun, dikhawatirkan agenda penting tersebut tidak berjalan maksimal. ”Kita bicara kekhususan. Perdasus dan Perdasi ini, Juli harus selesai. Syukur kalau Penjabat dari kementerian yang turun bisa paham ini. Kalau tidak ya berantakan,” kata Dominggus.
Dia juga menerangkan, pemerintah daerah masih menunggu petunjuk dari Kementerian Dalam Negeri terkait Penjabat yang akan ditempatkan di kabupaten/kota maupun provinsi. ”Kan jabatan berakhir tahun 2022 ini, kita masih tunggu petunjuk,” ujar Dominggus.
Tak Ada Ruang Regulasi Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Daerah
Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik menyatakan tidak ada ruang regulasi untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang akan berakhir sejak 12 Mei 2022. Secara regulasi, masa jabatan tersebut hanya dibatasi selama lima tahun. ”Ada 272 kepala daerah, mulai dari gubernur, wali kota hingga bupati yang tersebar di 25 provinsi. Sementara Pilkada baru digelar serentak 2024 mendatang,” tutur Akmal melalui siaran pers. Dia menegaskan, dalam kehidupan bernegara termasuk penyelenggaraan pemerintahan, wajib hukumnya menaati aturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana amanat konstitusi yang di muat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. ”Yakni Negara Indonesia adalah negara hukum,” terang Akmal.
Ia melanjutkan, masa jabatan kepala daerah telah diatur dalam Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 serta Pasal 60 UU Nomor 23 Tahun 2014. Dua aturan tersebut menjelaskan, masa jabatan kepala daerah hanya lima tahun terhitung sejak pelantikan, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya, tidak ada klausul perpanjangan masa jabatan kepala daerah. ”Apabila diperpanjang, justru itu akan bermasalah dari sisi perundang-undangan dan berpotensi melanggar aturan,” paparnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU Nomor 23 Tahun 2014 serta Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tersebut tidak terdapat ruang regulasi untuk perpanjangan masa jabatan kepala daerah. Adapun UU Nomor 10 Tahun 2016 yang memuat pengaturan tentang Pilkada, termasuk ketentuan soal Pilkada Serentak Tahun 2024 merupakan tindak lanjut dari amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. ”Karena secara eksplisit normanya mambatasi hanya lima tahun,” jelas Akmal Malik.
Ia melanjutkan, dalam regulasi yang mengatur Pilkada serentak, mulai UU Nomor 1 Tahun 2015, UU Nomor 8 Tahun 2015, UU Nomor 10 Tahun 2016, dan UU Nomor 6 Tahun 2020 memuat soal pengaturan tentang penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah sampai dengan adanya pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. ”Penunjukan penjabat kepala daerah juga memiliki dasar hukum,” ucapnya.
Penunjukan penjabat kepala daerah, kata dia, pemerintah pastinya mengedepankan kapasitas, kompetensi, dan integritas secara cermat, hati-hati serta selektif. Sehingga dapat menjamin kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di daerah. ”Para ASN memiliki kapasitas yang bisa diandalkan untuk menjalankan tugas sebagai penjabat kepala daerah. Mereka memiliki pengalaman dan kemampuan teknis,” jelas dia.
Selain itu, tambah Akmal, pemerintah pusat tak akan lepas tangan ketika penjabat kepala daerah sudah ditunjuk dan bekerja. Sesuai ketentuan Pasal 373 UU Nomor 23 Tahun 2014 dan amanat Pasal 132 ayat (6) PP Nomor 6 Tahun 2005, pemerintah secara ketat melakukan pembinaan dan pengawasan. Hal ini untuk menjamin kinerja penjabat kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. “Seiring dengan upaya pembinaan, pengawasan, dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah tentunya sangat diharapkan kerjasama seluruh lembaga dan elemen di masyarakat untuk turut mendukung dan mengawasi kinerja pemerintahan daerah di masa transisi agar tetap sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” pungkas Dirjen Otda Kemendagri. (fw)