Catatan : Tupono
Di tengah pandemic Covid 19 tepatnya 9 Februari 2022, dunia pers di tanah air merayakan ulang tahunnya yang ke 76. Ini bukan merupakan usia yang pendek, tetapi usia yang sudah cukup mapan dan bisa juga dikatakan sudah tidak muda lagi alias sudah tua.
Selain akibat pandemic Covid 19, media cetak di tanah air termasuk yang ada di Tanah Papua juga menghadapi boomingnya media online dan media sosial. Tidaklah mengherankan bila dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini banyak media cetak tinggal nama, ada yang mengurangi jumlah halamannya maupun mengurangi hari terbitnya.
Di Jayapura media cetak harian tinggal satu saja yakni Cenderawasih Pos, di Timika masih lebih baik, karena masih ada dua harian yang terbit. Lantas bagaimana media cetak yang ada di Manokwari sebagai ibukota provinsi Papua Barat dan Kota Sorong ? tentunya nasibnya tidak jauh berbeda. Dengan media media cetak yang ada di Indonesia pada umumnya.
Di Manokwari selama ini ada empat Koran harian, sekarang yang bisa terbit tinggal dua saja yakni Cahaya Papua (terbit juga sudah tidak menentu) dan Tabura Pos. Di Sorong juga tinggal Radar Sorong (sempat tidak terbit beberapa bulan) dan Papua Barat Pos (terbit seminggu dua kali).
Semua itu tidak terlepas dari kondisi ekonomi yang ada di tanah air akibat pandemi Covid 19. Dengan aktivitas warga dibatasi dampaknya usaha banyak yang tutup. Banyak pula yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan lainnya. Begitu juga anggaran pembangunan dari pemerintah semua dipotong untuk penanganan pandemi Covid 19, dampaknya perputaran uang di daerah semakin berkurang.
Pemerintah memang melakukan bantuan bagi pekerja yang memiliki penghasilan di bawah Rp. 5.000.000/bulan dengan nominal Rp. 1.200.000. ini diterima pekerja sebanyak dua kali. Perhatian pemerintah ini juga sudah agak baik lah, namun bagaimana nasib perusahaan Pers yang memiliki karyawan tidak sedikit?
Kalau sedari awal pemerintah ada niat membantu perusahaan Pers bisa dengan jalan membebaskan iuaran BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan selama Pandemi Covid 19. Selain itu juga perlu diberikan insentif dalam pembayaran listrik, maupun kebijakan kebijakan lainnya.
Di Papua Barat banyak perusahaan pertambangan minyak dan gas tetapi mereka sangat sulit untuk belanja iklan. Ini berbeda dengan perusahaan tambang PT Freeport yang aktif memasang iklan, pariwara dan lainnya. Kenapa Freeport bisa perusahaan migas tidak bisa ? alasan klasik tidak ada anggaran, semua lewat satu pintu SKK Migas. Sedangkan perusahaan sendiri tidak bisa langsung pasang.
Lantas bagaimana dengan stake holder yang lain seperti pemerintah daerah ? awal reformasi pemerintah daerah banyak yang royal dalam belanja iklan termasuk yang ada di Papua Barat. Tapi nilainya masih sangat kecil di banding dengan belanja iklannya pemerintah daerah di luar Papua Barat.
Sekarang tinggal menunggu membaiknya kondisi ekonomi di tanah air dan Papua Barat ini. Kalau kondisi ekonomi sudah kembali normal diyakini kehidupan perusahaan media dan akan bisa kembali menggeliat kearah pertumbuhan .
Lantas muncul pertanyaan kenapa media cetak banyak yang gulung tikar ? semua itu tidak terlepas dari mahalnya biaya operasional. Mulai dari gaji karyawan mulai dari wartawan, redaktur, staf iklan, staf pemasaran, percetakan maupun pra cetak atau lay out.
Begitu juga untuk menghasilkan lembaran Koran dibutuhkan plate, film atau polister, tinta printer yang cetak sedikit atau banyak biayanya sama. Begitu juga harga bahan juga mengalami kenaikan yang cukup tinggi, kertas semula Rp. 11.000/kg, sekarang diatas Rp. 15.000/kg. Harga plate, polister/film, tinta dan lainnya juga ikut ikutan naik.
Jadi kondisi media cetak di Indonesia saat ini betul-betul berat atau tiarap. Untuk itu diperlukan goodwill dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, agar media cetak tidak pada sekarat. Semoga ada jalan. (***)