SORONG – Tim Riset Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk menjaring aspirasi masyarakat Kabupaten Sorong terkait rencana pemekaran Provinsi Papua Barat Daya (PBD) di aula Baperlitbang Kabupaten Sorong, Selasa (8/2). Pantauan Radar Sorong, suasana FGD sedikit alot karena ada beberapa tokoh perwakilan masyarakat yang menolak pemekaran Provinsi Papua Barat Daya.
Bupati Sorong, Dr. Johny Kamuru,SH,MSi dalam arahannya mengatakan, rencana pemekaran PBD telah dibahas oleh kepala daerah se-Sorong Raya. Selanjutnya pembahasan tersebut dibawa kepada Dirjen OTDA Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Dikatakan Bupati, pelaksanaan FGD ini merupakan wadah untuk menerima aspirasi masyarakat, sehingga rencana pemekaran PBD dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. ”FGD ini bagian penting untuk menyerap aspirasi masyarakat akan rencana pemekaran Provinsi Papua Barat Daya. Sebelumnya kami bersama Ketua Tim Pemekaran, Walikota Sorong telah menemui Dirjen Otda untuk menyampaikan kembali aspirasi pemekaran Provinsi Papua Barat Daya ini,” ujar Bupati.
Ketua Tim Kajian Pemekaran Provinsi Papua Barat Daya dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Ruhyanto mengatakan, rencana pemekaran yang diusulkan merupakan usulan dari masyarakat yang harus disikapi oleh pemerintah, sehingga tidak terkesan pemekaran merupakan kepentingan pemerintah pusat.
Arie menuturkan, FGD dimaksudkan untuk mengidentifikasi semua aspirasi masyarakat baik yang menerima maupun yang menolak pemekaran Provinsi Papua Barat Daya. ”Tidak sepenuhnya pemekaran berdasarkan kebijakan pemerintah pusat, tapi juga harus menggali dinamika yang berlangsung di masyarakat. Benarkah masyarakat setuju atau ada juga yang tidak setuju. Atau mungkin merasa tidak terlalu relevan kehadiran provinsi PBD, dan sebagainya,” kata Arie.
Nantinya lanjut Arie, argumen dari masyarakat yang mendujung maupun tidak mendukung terbentuknya Provinsi Paoua Barat Daya akan diidentifikasi. Sehingga ketika undang-undang pembentukan Provinsi Papua Barat Daya dirumuskan, tidak sekedar menjadi akta kelahiran saja. Melainkan juga merespon konteks keragaman sosial, budaya, politik, keamanan yang ada di masing-masing wilayah. “Rencana pembentukan Provinsi Papua Barat Daya ini bukan hanya kepentingan pemerintah pusat atau pemerintah daerah, melainkan untuk kepentingan bersama seluruh masyarakat. Sebab tujuan utama PBD adalah untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan, dengan harapan pertumbuhan daerah segera terakselerasi. Sehingga perlu bagi kami untuk mengidentifikasi argumen, saran, masukan dari masyarakat yang pro maupun kontra,” tandasnya.
Pantauan Radar Sorong, suasana FGD sedikit alot karena ada beberapa tokoh perwakilan masyarakat yang menolak pemekaran Provinsi Papua Barat Daya. Salah satunya Ketua Kwongkek Kaban Saluk Moi, Sarlota Mobalen yang merupakan perwakilan dari tokoh perempuan Moi. Menurutnya, ia dan sebagian besar masyarakat perempuan Moi belum paham betul alasan harus terjadinya pemekaran Provinsi Papua Barat Daya.
“Rencana Kabupaten Sorong akan menjadi ibu kota Provinsi Papua Barat Daya. Kami belum bisa mengambil keputusan setuju atau tidak, karena belum ada pertemuan bersama masyarakat adat. Ini terlalu terburu-buru, seharusnya forum seperti ini dilaksanakan setelah ada pertemuan adat, kami perlu duduk bersama untuk bicara masalah ini,” ujar Sarlota. “Kami belum bisa membuka diri untuk berbicara pemekaran PBD. Kami patut bertanya, dalam tim pemekaran tak satu pun orang Moi dilibatkan di dalamnya. Versi pemerintah, oke. Tapi dari sisi masyarakat adat, bagaimana,” imbuh rekannya.
Menurutnya, daripada masyarakat harus berbicara dalam forum resmi tersebut, lebih baik biarkan masyarakat adat duduk berdiskusi terlebih dahulu. Ketidak siapan masyarakat Moi yang diwakili oleh tokoh perempuan Moi tersebut juga dipengaruhi oleh ketersediaan lahan. Sebab masyarakat adat merasa selama ini pendatang yang ada, bersikap seolah tidak menghargai para Newilik (anak adat).
“Kalau pemerintah ingin PBD terbentuk di sini, maka silahkan siapkan lahannya sendiri. Kami Orang Moi sudah cukup menderita di atas tanah kami sendiri. Kota dan Kabupaten Sorong terbentuk, kami hanya jadi penonton. Saudara pendatang tidak pernah hargai kami sebagai Newilik (anak adat). Sebenarnya kepentingan terbentuknya PBD untuk siapa, apakah untuk suku tertentu,” kata dia.
Berbeda dengan perwakilan tokoh perempuan, beberapa tenaga pendidik SMA/SMK justru sangat mengharapkan kehadiran Provinsi PBD. Sebab, para guru merasa setelah tanggung jawab pendidikan untuk tingkat SMA/SMA dialihkan ke Dinas Pendidikan Provinsi, tugasnya semakin berat. Guru merasa kesulitan dalam pengurusan administrasi karena jarak yang jauh dan memakan biaya tak sedikit.
“Tantangan yang kami hadapi sulit sekali, kita mau urus berkas siswa saja harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah,” keluh perwakilan tenaga pendidik. “Sudah keluar biaya banyak, belum tentu tujuan kami di Dinas Pendidikan Provinsi pun berjalan mulus. Pengalaman saya, kami mau ketemu dengan orang dinas di provinsi ini sama halnya seperti kami berharap ketemu malaikat,” imbuhnya.
Dengan alasan tersebut, tokoh akademisi dan guru-guru SMA/SMK merasa sangat membutuhkan keharmdiran Provinsi PBD yang direncanakan ibukotanya berada di Kabupaten Sorong. “Ini suatu kebutuhan bagi perkembangan dunia pendidikan. Ini kebutuhan untuk mendukung sumber daya manusia. Jadi kami setuju Provinsi Papua Barat Daya hadir dan ibu kotanya di Kabupaten Sorong,” tandasnya. (ayu)