Bupati: Orang Jawa dam Moi tidak bisa dipisahkan.
AIMAS – Puluhan tahun tak pernah ada peringatan khusus Hari Bakti Transmigrasi (HBT) di Kabupaten Sorong, kini untuk pertama kalinya agenda tersebut dirayakan. Bertempat di halaman Kantor Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Sorong, Senin (13/12) acara tersembur disambut sumringah Bupati Sorong, Dr. Johny Kamuru, SH, M.Si.
“Puluhan tahun orang trans ada di sini, tapi baru kali ini diperingati, dan saya pun baru tahu. Terima kasih karena Kadisnakertrans sudah mengingatkan. Harus catat baik-baik, ini harus jadi agenda terjadwal. Dan tahun-tahun berikutnya kita harus rayakan lebih meriah sebagai pengingat bagi masyarakat transmigrasi dari suku besar Jawa,” ujar Bupati.
Hadirnya masyarakat transmigrasi dari suku Jawa ke tanah Papua telah cukup berdarah-darah serta melewati perjuangan besar. Hal tersebut dikisahkan sesepuh anak eks transmigrasi, Mbah Yakim. Dikatakan sesepuh transmigran, saat itu orang dirinya ditipu oleh pemerintah.
Saat hendak ikut dalam program transmigrasi, orang tuanya dan beberapa warga di kampung dijanjikan rumah yang layak yang akan diberikan oleh pemerintah. Padahal begitu sesampainya di Kabupaten Sorong saat itu, ternyata hanya kondisinya masih hutan belantara dengan akses yang serba terbatas.
“Ya begitulah cara merayunya. Kalau pemerintah mengatakan kondisi di Papua yang sebenarnya, saya yakin masyarakat Jawa tidak akan ada yang mau datang ke sini. Jadi harus ditipu dulu, setelah sampai di sini melihat hutan, ternyata tidak bisa pulang ke Jawa lagi. Sehingga mau tidak mau akhirnya harus menjalani hidup di sini,” kata Bupati mengundang gelak tawa.
Namun bagi Bupati, hal itu tidak masalah. Yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana pemerintah dan tokoh-tokoh melakukan sesuatu untuk menggantikan kekecewaan orang tua pelopor program transmigrasi kala itu. Mengisi dengan pembangunan dan tetap menjaga keberagaman.
Saat ini lahan eks transmigrasi di beberapa daerah sudah berkembang cukup baik dan menjadi kecamatan, hingga kelurahan. Namun hal luar biasa bahwa di Kabupaten Sorong lahan eks transmigrasi bukan hanya jadi distrik atau kelurahan, bahkan sekarang jadi ibu kota.
Melalui program transmigrasi, saat ini suku Jawa menjadi penduduk mayoritas di Kabupaten Sorong. Dimana hal tersebut dapat dilihat melalui organisasi kesukuan terbesar yaitu Ikaswara. Dengan demikian, Bupati mengambil langkah bahwa posisi orang Jawa dan orang Moi harus sejajar. Hal tersebut diterapkan Bupati lewat strategi politik serta pemerintahannya.
“Makanya secara politik, saya katakan pasti, pemimpin daerah harus berasal dari dua suku besar di daerah ini. Bupati harus orang Moi dan wakilnya harus orang Jawa, tidak bisa dipisahkan. Hal ini saya buktikan sendiri, makanya Pilkada 2017 lalu, apapun yang terjadi meski dengan berdarah-darah, saya tetap berprinsip bahwa wakil saya harus orang Jawa,” bebernya.
“Ke depan harus tetap seperti itu. Demokrasi jangan dibelokkan kemana-mana. Gambarannya sudah jelas, Bupati orang Moi, wakilnya orang Jawa. Saya merasa beruntung sekali karena Tuhan selalu beri khidmat. Sehingga ketika saya hendak mengambil keputusan untuk memberikan kesempatan bagi orang Jawa, semuanya dipermudah oleh Tuhan. Maka ada beberapa jabatan strategis yang saya amanahkan untuk orang Jawa menempati posisi tersebut. Semua itu karena saya ingin menghargai keseimbangan dua suku ini,” lanjut Bupati.
Disinggung terkait kemungkinan menghadirkan program transmigrasi lagi, Bupati program tersebut harus disinergikan dengan pimpinan di provinsi hingga pusat. Namun dirinya tak menutup kemungkinan jika hal tersebut akan diprogramkan kembali.
“Saya tidak akan menolak transmigrasi, Saya pikir jika program tersebut bermanfaat untuk masyarakat kenapa tidak didukung. Apalagi kita tahu bahwa daerah yang sudah tersentuh oleh program transmigrasi (heterogen) pada umumnya memang cukup cepat perkembangannya. Sementara daerah yang cenderung homogen akselerasi pembangunannya akan terlambat. Namun kembali lagi, semua itu harus disinergikan sampai ke pusat,” tutup Bupati. (ayu)