AIMAS – Kemenangan Bupati Sorong Dr. Johny Kamuru, SH,M.Si dalam perkara gugatan perusahaan sawit di PTUN, adalah kemenangan bagi masyarakat adat Papua. Penilaian tersebut diungkapkan Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Doberay, Papua Barat, Mananwir Paul Finsen Mayor kepada Radar Sorong, Rabu (8/12).
Ketua DAP Wilayah III Doberay memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Bupati Sorong, Dr. Johny Kamuru, SH,M.Si, yang juga adalah anak adat Malamoi, anak adat Papua. Kemenangan tersebut menunjukkan bahwa anak adat adalah pihak yang benar. “Ini adalah kemenangan masyarakat adat dan beliau (Bupati Sorong) sebagai orang asli Papua yang harus dijadikan teladan oleh seluruh bupati di tanah Papua. DAP akan bersama beliau sampai kapanpun, sepanjang beliau membela hak hak dasar masyarakat adat Papua,” ujar Paul.
Atas nama masyarakat adat Papua, Paul berharap agar lahan eks perusahaan sawit yang telah dicabut izinnya, dapat dikembalikan kepada masyarakat pemilik hak ulayat, agar tanah adat tetap ada dan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat adat itu sendiri seperti sedia kala.
Diakui Paul, di benaknya masih ada kekhawatiran akan terjadi hal serupa seperti saat ini. Baginya, perkara ini hanya satu dari sekian banyak masalah yang terjadi di tanah surga ini. “Pasti masih banyak yang belum terungkap. Buktinya sampai saat ini, bahkan hingga hari ini pun, kami DAP masih menyelesaikan terkait perkara serupa. Namun dari kejadian ini kita bisa berkaca, bahwa ini adalah pintu masuk dan akan ada waktunya semua kotak pandora itu akan terbuka,” kecamnya.
Ditegaskan Paul, masyarakat adat bukanlah rival dari pemerintah yang menolak masuknya investasi, namun ada hal-hal tertentu yang harus dipahami pemerintah tentang keberadaan masyarakat adat. “Saat ini Papua adalah salah satu tujuan investasi yang dituju oleh ribuan investor, sehingga masyarakat adat harus menentukan posisinya agar mereka tetap hidup aman dan nyaman di atas tanahnya sendiri,” tuturnya.
Investasi harus masuk melalui pintu adat dan membangun komunikasi yang baik dengan dewan adat. Apabila masyarakat adat menilai bahwa investasi tersebut dapat menghadirkan simbiosis mutualisme, maka pasti bisa berjalan. Sebaliknya, ketika masyarakat menilai bahwa investasi tersebut akan merugikan mereka maka tentu akan ditolak.
Paul berharap ke depan investor yang masuk ke tanah Papua harus melalui rumah adat, contohnya DAP sebagai rumah besar masyarakat Papua. Investor tersebut harus bertemu dengan ketua DAP bersama pemilik hak Ulayat di tingkat wilayah, daerah, suku atau katua kerek/marga. Sehingga ketika investor masuk mereka telah melalui jalur yang benar yaitu melalui rumah adat. “Masyarakat adat jangan dipandang sebelah mata karena mereka adalah pemilik dan penentu, bukan penonton. Jangan mereka bertemu orang yang jalan atas nama lembaga adat. Karena sejatinya rakyat Papua hanya membentuk satu lembaga besar masyarakat adat di tahun 2000 yaitu Dewan Adat Papua (DAP),” lanjutnya.
Dewan Adat Papua berharap pemerintah daerah menghargai tanah adat, hak dasar, hak hidup dan hak kepemilikan oleh masyarakat adat Papua. Dewan adat juga menghimbau kepada masyarakat adat Papua untuk membangun komunikasi yang baik diantara sesama. Sehingga jangan ada pihak yang mengatasnamakan pemilik hak Ulayat untuk menjual atau melepaskan tanah adat mereka. “Selama ini yang terjadi seperti itu. Ada filosofi orang Papua bahwa, kalau dia punya tanah dia pasti sayang. Tetapi karena bukan milik dia maka dia tidak sayang, sehingga akhirnya dijual. Makanya tolong dicek baik, orang yang melepas tanah adat jangan sampai dia bukan pemilik asli, hanya mengatasnamakan pihak tertentu,” ungkapnya.
Dibeberkan Paul, selama ini masyarakat diiming-imingi bahwa ketika masuk kegiatan investasi maka tenaga kerja yang paling banyak diserap adalah masyarakat adat, sayangnya kenyataannya berbanding terbalik. Karena masyarakat adat saat direkrut tidak diberikan training dan pemahaman secara baik. Lalu, guna mempercepat proses produksi dalam kegiatan investasi, perusahaan mendatangkan tenaga dari luar Papua. “Hal itulah yang memicu kecemburuan sosial dan memicu banyak konflik yang terjadi di daerah kita saat ini. Permasalahan seperti itulah yang selama ini ditangani oleh dewan adat Papua hingga saat ini,” bebernya.
Intinya adalah ketika masuk kegiatan investasi yang dalam tanda kutip tidak sehat, maka dapat memicu kesenjangan sosial serta kecemburuan sosial dari masyarakat adat. Kuncinya adalah masyarakat adat Papua mereka ingin dihargai dan dihormati di atas tanahnya. “Apabila masyarakat adat menilai bahwa investasi tersebut dapat menghadirkan simbiosis mutualisme, maka pasti bisa berjalan. Sebaliknya, ketika masyarakat menilai bahwa investasi tersebut akan merugikan mereka maka tentu akan ditolak,” tandas Paul. (ayu)