SORONG – Tersisa 44 persen luasan hutan di Indonesia yang berada di wilayah Indonesia Timur (Papua dan Maluku). Sayangnya, hutan di wilayah Indonesja Timur justru telah dikapling untuk ditebang demi “investasi”, padahal hutan di Indonesia Timur merupakan benteng terakhir. Demikian dikatakan CEO Yayasan ECO Nusa, Bustar Maitar saat tampil sebagai pembiacara dalam kegiatan Jurnalist Workshop dan Fellowship, Hutan Papua Kunci Mitigasi Krisis Iklim, Sabtu (2/10).
Bustar menyatakan, hutan bagian Indonesia Timur yakni Papua dan Maluku adalah benteng terakhir di Indonesia yang berperan menstabilkan iklim. Oleh sebab itu, hutan harus dipertahankan agar dapat beradabtasi dengan perubahan iklim, namun jika hutan di tebang maka iklim akan rusak. Di Provinsi Papua, sambung Bustar, memiliki hutan sekitar 24 juta hektar yang masih sangat bagus, sedangkan di Provinsi Papua Barat ada sekitar 8.8 juta hektar hutan, dan di Maluku sekitar 3 juta hektar serta di Maluku Utara sekitar 1.9 juta hektar, sehingga totalnya sekitar 38 juta hektar, dan merupakan 44 persen hutan terakhir di Indonesia yang terletak di wilayah Indonesia Timur.
“Hutan Papua ini sebagai benteng terakhir karena jika hutan di Indonesia Timur habis ditebang, maka Indonesia bagian barat akan merasakan dampak yang dahsyat. Maka tanggung jawab menyelamatkan hutan di Indonesia Timur, tanggung jawab Indonesia secara umum maupun penduduk dunia,” tegasnya.
Sayangnya, Bustar mengatakan hutan di Maluku dan Papua sudah dibagi kapling, atau semua pohon di Papua dan Maluku ibaratnya sudah ada yang memiliki dan sang pemilik rencananya ingin menebang hutan tersebut. Diantaranya, kurang lebih sekitar 1.8 juta Ha hutan rencananya untuk perkebunan kelapa sawit di Papua. Selain itu, hampir 1 juta hektar untuk perkebunan tebu di tanah Papua dan Maluku. Dan, sekitar 9 juta Ha untuk APH, sekitar 1 juta ha untuk hutan tanaman industri dan hampir 6.2 juta Ha untuk tambang. “Ini semua sudah dikapling dan ini mengacam kehidupan kita yang awalnya sejuk, namun karena akan ditebang hutannya maka kita akan merasa panas,” paparnya. Ia juga menyinggung akibat gas rumah kaca 25 persen dipicu kegiatan penebangan hutan di seluruh dunia. Jika gagal menghandel penebangan hutan, maka penduduk dunia juga gagal dalam menghandel perubahan iklim. “Sekarang mungkin sudah gagal, karena menurut peneliti, Iklim kita tidak boleh naik dari 2 derajat, sayangnya sekarang kita sudah gagal karena hampir 2 derajat. Kita harus beradaptasi,” ungkapnya sembari menambahkan, mitigasi (pencegahan) krisis iklim nampaknya saat ini sudah terlambat karena keegoisan manusia. (juh)