SORONG – Puluhan warga Kepulauan Soop menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Pengadilan Negeri Sorong, Rabu (13/10). Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk permintaan penundaan terhadap eksekusi tanah seluas 13 hektar yang berlokasi di Kepulauan Soop. Pantauan Radar Sorong, aksi unjuk rasa berlangsung sejak pukul 11.00 WIT. Massa pendemo membentangkan spanduk bertuliskan ‘Tunda eksekusi tanah Pulau Soop’, ‘Gugatan perlawanan telah terdaftar di Pengadilan Negeri Sorong’.
Perwakilan Dewan Adat Malamoi, Samuel Mainolo kepada wartawan menjelaskan, kasus dugaan penyerobotan tanah adat di Kepulauan Soop sudah berlangsung sejak tahun 2005, bahkan kasus tersebut dimenangkan oleh EM (Pemohon) yang bukan warga Kepulauan Soop. Tidak hanya di Pengadilan Negeri Sorong, EM juga menang saat di Pengadilan Tinggi Jayapura pada tahun 2006.
”Mereka yang menyerobot tanah ini ukur dari udara bukan di daratan (lapangan) dan EM mengaku ia memiliki tanah seluas 13 hektar lebih di Kepulauan Soop, memangnya EM bawa tanah dari negaranya kah,” kata Samuel dengan nada emosi.
Hal ini lanjut Samuel Mainolo, menunjukkan kegagalan negara khususnya Badan Pertanahan yang dinilainya tidak transparan. ”Jangan membuat orang asli Papua tidak percaya atas hukum Indonesia. Ini lucu, ini sudah bagian dari rasis, karena mereka menggusur rakyat kecil yang sudah mendiami pulau Soop sejak tahun 1823,” tandasnya.
”Kasus ini sudah terjadi sejak tahun 2005 antara Marga Kafiar yang tinggal di Pulau Soop dan EM yang merupakan turunan dari orang asing. Bapak kandung EM dulunya datang di Pulau Soop melakukan usaha beli kopra, sehingga mereka menyuruh masyarakat Soop menanam kelapa,” sambungnya.
Sejak saat itu, tambah Samuel, EM menyatakan tanah tersebut milik mereka, padahal mereka sama sekali tidak memiliki tanaman tumbuh. “Sebenarnya keluarga EM harusnya membayar keluarga Kafiar sebesar Rp 3.750.000.000 karena EM menyuruh masyarakat menanam kelapa untuk kemudian dibuat kopra. ”Maka, langkah masyarakat adalah menolak dan meminta peninjauan kembali lahan tersebut. Tadi kami melakukan mediasi dengan pihak pengadilan dan akan kami lakukan gugatan balik rencananya hari Senin,” kata Samuel Mainolo.
Menanyakan apakah EM sudah memiliki sertifikat tanah, Samuel mengatkan masyarakat juga bingung kenapa EM bisa mendapatkan sertifikat, beli tanah dari siapa dan siapa yang menyerahkan. Warga Pulau Soop hanya tahu bahwa keluarga EM merupakan pengusaha yang tinggal di Pulau Doom, sementara tanah Pulau Soop diberikan keluarga Bewela untuk ditinggali OAP lainnya sejak tahun 1823. ”Saat putusan, pihak Pengadilan Negeri Sorong tidak menunjukkan titik batas atau patok tanah, tapi tiba-tiba ada putusan eksekusi tanah. Hal ini membuat warga panik, karena takut akan terkena gusur. Maka, lebih baik kami mencegah, dengan datang kesini untuk menuntut hak kami,” tegasnya.
Sementara itu, Humas Pengadilan Negeri Sorong, Fransiscus Y. Babthista,SH, mengatakan, pihak Pengadilan Sorong menerima kedatangan massa dan menjelaskan terkait proses eksekusi, dimana eksekusi karena perkara sudah berkekuatan hukum tetap. Dimana, selaku pemohon eksekusi yakni EM terhadap Marga Kafiar CS. ”Kedatangan mereka meminta agar eksekusi ditunda tetapi secara hukum tidak bisa ditunda begitu saja sehingga tergugat mengajukan perlawanan oleh pihak ketiga yang memiliki kepentingan diatas objek yang sama terhadap eksekusi,” katanya.
Namun berdasarkan jadwal, sambung Fransiscus, rencananya dilakukam eksekusi pada Kamis, (14/10) dan jika diatas tanah ada bangunan atau objek apapun yang bukan milik pemohon, maka akan diratakan. (juh)